MerahPutih.com - Saat Persidangan Kasus dugaan korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dengan terdakwa Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Heru Hidayat dengan hukuman mati. JPU meyakini Heru telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana Asabri yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.
Wacana Hukuman mati bagi koruptor ini, diusung oleh Jaksa Agung ST Burhanudin, tetapi, pakar hukum dan Aktivis HAM mengingatkan Kejaksaan Agung harus melihat secara detail Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi Asabri, Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati
"Namun perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut yang berbunyi ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’, karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut," ujar Pakar hukum sekaligus akademisi Universitas Gadjah Mada Djoko Sukisno dalam keteranganya, Selasa (7/12).
Djoko menjelaskan, sebagaimana penjelasannya, yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata ‘pengulangan’ diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.
"Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya”, tekannya.
Ia menilai, wacana dan tuntutan hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, harus dicermati sekali lagi apakah diantara mereka ada yang recidivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.

Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, tegas ia, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter.
"Ingat, tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya, " ungkapnya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menggaungkan wacana hukuman mati bagi terpidana korupsi. Kejaksaan Agung, membuktikanya dengan menuntut seorang terdakwa kasus Asabri. Sisanya, dengan tuntutan 10 sampai 15 tahun penjara. (*)
Baca Juga:
Terdakwa Kasus Asabri Dituntut Hukuman Mati, Aktivis HAM: Tak Seharusnya Diterapkan