KOMERSIALISASI donor ginjal menjadi momok menakutkan. Begitu banyak orang yang rela menjual ginjalnya demi mendapatkan sejumlah uang. Bahkan, untuk hal-hal sepele seperti membeli ponsel mahal dan memenuhi gaya hidup mewah membuat sebagian orang gelap mata menjual ginjalnya.
Fenomena jual ginjal menghasilkan anekdot gelap seperti "Duh tiket konser BLACKPINK mahal banget! Gue jual ginjal dulu deh" atau "otw jual ginjal buat beli iPhone 14 ProMax". Sekilas terdengar lucu, namun itu tidak lagi lucu jika akhirnya muncul korban jiwa. Misalnya, di Makassar dua orang pemuda membunuh bocah usia 11 tahun untuk mengambil ginjalnya.
Baca Juga:

Data dari Urology Center terungkap bahwa sebanyak 91% penyebab calon donor tidak direkomendasikan karena alasan komersialisasi. Sementara 7% karena alasan psikiatri (tidak cakap mental/gangguan kejiwaan) dan 2% lainnya karena pertimbangan etikolegal.
Hal itu tentu menimbulkan keprihatin tersendiri bagi banyak orang khususnya Ketua ASRI Urology Center, Dr. dr. Nur Rasyid, Sp.U (K). Menurutnya, rendahnya literasi masyarakat membuat mereka gelap mata membunuh anak yang tidak bersalah demi uang. Padahal, untuk menyumbangkan ginjal ada prosedurnya.
"Supaya ginjal yang didonorkan bisa dipakai perlu dipastikan cocok dulu. Enggak bisa tiba-tiba kita dapat ginjal langsung dipakai," jelasnya. Ginjal yang tidak sesuai dengan pasien tentunya akan menghasilkan penolakan dari tubuh pasien yang berisiko pada kematian.
"Tidak akan ada rumah sakit yang menerima ginjal enggak jelas. Itu cuma ada di film-film aja. Enggak bisa ginjalnya di ambil di mal terus dibawa ke rumah sakit terus dipakai oleh pasien," katanya. Kalaupun ada kecocokan antara ginjal pendonor dengan penerimanya, operasi perlu dilakukan oleh ahlinya.
Lantas bagaimana mencegah supaya komersialisasi ginjal tidak terjadi? Caranya tentu saja dengan pendidikan dan meningkatkan literasi pada masyarakat.
Selain itu, dari segi pemerintah perlu adanya regulasi yang jelas yang diatur oleh Komisi Transplantasi Nasional (KTN). KTN menjadi lembaga yang bertugas untuk mengatur siapa yang mendaftar jadi pendonor, siapa resipien (penerima), hingga bisakah orang yang belum pernah mendonorkan jadi pendonor.
Baca Juga:

KTN akan memeriksa golongan darah dan data-data standar calon pendonor. Di waktu yang tepat, calon pendonor bisa menjadi pendonor. "Sayangnya KTN ini belum berfungsi 100% baru ditahap membuat aturan-aturan," jelasnya.
Sementara rumah sakit punya peran penting dalam mensosialisasikan donor ginjal. Tim advokasi rumah sakit juga bisa melakukan seleksi untuk menghindari oknum pendonor.
"Teman-teman dari tim advokasi tahu betul cara menyeleksi pada saat mewawancarai calon pendonor. Mereka akan mewawancarai calon pendonor berkali-kali. Psikiater forensik bisa menilai apakah jawaban dari calon pendonor konsisten," urainya.
Dokter Rasyid menyebutkan bahwa tim advokasi punya standar yang mereka lakukan sehingga rumah sakit bisa terjaga dari komersialisasi ginjal. "Kita bisa membuat barrier yang baik sehingga oknum-oknum itu tersingkir dari proses menjadi donor."
Upaya tersebut berhasil menekan angka komersialisasi ginjal di rumah sakit. Dari data milik Dr. dr. Nur Rasyid, Sp.U (K) terungkap bahwa angka komersialisasi ginjal mengalami penurunan drastis. Di tahun 2021 calon pendonor yang tidak direkomendasikan karena alasan komersialisasi mencapai 31 orang. Sementara di tahun 2022 tidak ada pendonor yang ditolak karena alasan komersialisasi. (avia)
Baca Juga: