MerahPutih.com - Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu catatan hitam dunia sepakbola Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 2022 itu menewaskan 135 orang.
Tidak ada yang menyangka bahwa laga Liga 1 antara Arema FC kontra Persebaya Surabaya akan berakhir tragis. Tragedi Kanjuruhan menjadi tiga besar bencana sepakbola, setelah insiden yang terjadi di Lima, Peru pada 1964 dan Ghana pada 2001 lalu.
Baca Juga
Insiden itu dipicu tembakan gas air mata yang ditembakan aparat keamanan dengan dalih menghalau suporter yang masuk ke dalam lapangan. Padahal, suporter hanya ingin memberikan semangat kepada pemain usai kalah dari Bajul Ijo.
Namun, hal itu tidak digubris oleh polisi. Mereka mulai menembakan gas air mata ke arah tribun penonton yang membuat kepanikan yang kuar biasa. Mereka berupaya untuk keluar dari dalam stadion. Tetapi, pintu stadion tidak sepenuhnya dibuka. Hal ini membuat penonton mengalami sesak napas dan mata pedih.
Mereka pun hanya bisa pasrah menahan perih, jatuh pingsan, dan terinjak-injak. Satu persatu korban berjatuhan karena tidak kekurangan oksigen.
Jasad pun bergelimpangan di area pintu stadion. Mayoritas korban berada di pintu 3, 9, 10, 11, 12 dan 13.
Pelanggaran HAM

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak tinggal diam atas Tragedi Kanjuruhan yang menjadi sorotan dunia internasional. Ia menginstruksikan PSSI menghentikan seluruh kompetisi sepakbola nasional.
Selain itu, Kepala Negara memerintahkan Menko Polhukam Mahfud MD membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang (TGIPF) guna melakukan investigasi atas peristiwa mematikan tersebut.
TGIPF yang beranggotakan 10 orang tersebut memiliki tugas mencari, menemukan, dan mengungkap fakta dengan didukung data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan pada peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang.
Selain TGIPF, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga turun tangan menginvestigas insiden di Kanjuruhan secara independen.
Setelah melakukan investigas, TGIPF melaporkan hasil temuannya pada Jumat (14/10). Ketua TGIPF, Mahfud MD meyakini bahwa banyak korban pada Tragedi Kanjuruhan disebabkan tembakan gas air mata.
Kemudian, TGIPF juga menyoroti PSSI yang tidak melakukan sosialisasi/ pelatihan yang memadai tentang regulasi FIFA dan PSSI kepada penyelenggara pertandingan, baik kepada panitia pelaksana, aparat keamanan dan suporter.
Sementara itu, Komnas HAM menyatakan Tragedi Kanjuruhan terjadi akibat kesalahan tata kelola yang tidak menghormati norma keselamatan dan keamanan dalam penyelanggaran sepak bola dan terjadi excessive abuse of force.
Komnas HAM menyebut pelanggaran terjadi karena penggunaan kekuatan berlebihan. Bahkan penembakan gas air mata dilakukan ke tribun penonton dengan jumlah sangat besar.
Berikutnya, terjadi pelanggaran hak hidup karena penggunaan gas air mata baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lalu adanya pelanggaran hak atas kesehatan. Sebab, banyak orang tiba-tiba luka atas gas air mata itu mengalami sesak nafas, trauma, patah tulang.
Baca Juga
Enam tersangka
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan enam tersangka kasus Tragedi Kanujuruhan, Kamis (6/10).
Keenam tersangka Tragedi Kanjuruhan, yakni Direktur Utama LIB Ahmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Arema Malang Abdul Haris, dan Security Officer Steward Suko Sutrisno.
Ketiganya disangkakan melanggar ketentuan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 dan/atau Pasal 103 ayat (1) juncto Pasal 52 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Tiga tersangka lainnya dari unsur kepolisian, yakni Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, dan Komandan Kompi (Danki) Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman.
Mereka melanggar ketentuan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.

Namun, berkas perkara eks Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB), Akhmad Hadian Lukita dinyatakan belum lengkap oleh jaksa atau P19. Hadian pun dibebaskan karena masa penahanannya di Polda Jatim sudah habis.
Meski dibebaskan, polisi tak menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Hadian dan dia masih berstatus tersangka.
Sementara lima tersangka tragedi Kanjuruhan lainnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim dan ditahan.
Bebasnya Hadian dari tahanan Polda Jatim membuat publik semakin ragu dengan upaya keseriusan aparat dan pemerintah dalam menuntaskan Tragedi Kanjuruhan.
Aremania melawan
Ketidakjelasan atas pengusutan Tragedi Kanjuruhan membuat Aremania melakukan aksi perlawanan. Mereka meminta keadilan kepada pemerintah dan PSSI atas kematian teman, keluarga atau saudara mereka.
Sejumlah korban Tragedi Kanjuruhan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Malang. Gugatan perdata yang dilayangkan tersebut dilakukan mewakili tujuh orang dari keluarga korban.
Dalam gugatan tersebut, ada delapan pihak tergugat, yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Dewan Pengawas PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), Panitia Penyelenggara Arema FC, dan Security Officer BRI Liga 1 2022-2023.

Kemudian, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI), dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, ada pihak turut tergugat yakni Presiden Republik Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Keuangan dan Pemerintah Kabupaten Malang.
Dalam gugatan tersebut, pihak penggugat mengajukan ganti rugi kepada pihak tergugat senilai Rp 62 miliar. Angka tersebut terbagi dalam kerugian materiil senilai Rp 9,02 miliar dan imateriil senilai Rp 53 miliar.
Secara umum gugatan tersebut dilakukan melalui dalil perbuatan melawan hukum. Sejumlah korban tragedi Kanjuruhan tersebut meminta pertanggungjawaban kepada delapan pihak tergugat. (*)
Baca Juga