MerahPutih.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan hasil investigasi dalam peristiwa tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyatakan peristiwa yang menewaskan 135 orang itu tidak termasuk dalam pelanggaran HAM berat. Hal ini didasari investigasi mendalam yang dilakukan Komnas HAM sejak awal Oktober 2022.
Baca Juga:
Komnas HAM Umumkan Hasil Penyelidikan Tragedi Kanjuruhan Siang Ini
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menjelaskan alasan lembaganya tak menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
"Kami menggunakan kewenangan yang ada di Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, tentang hak asasi manusia, di situ ada definisi soal pelanggaran HAM. Kami menggunakan itu kenapa kemudian juga kami simpulkan ini bukan peristiwa pelanggaran HAM yang berat," ucap Beka dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (2/11).
"Karena, kami tidak menemukan unsur-unsur yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, unsurnya yaitu sistematis atau meluas dan sistematik, itu kemudian dilihat dari apakah struktur komando ada perintah secara jelas begitu, perencanaan dan lain sebagainya," sambungnya.
Beka menyampaikan, ada 45 tembakan gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan. Dari 45 total tembakan itu, lanjut dia, 27 tembakan gas air mata terlihat dalam video yang diterima oleh Komnas HAM dan 18 tembakan lainnya terkonfirmasi lewat suara.
Sementara itu, mengenai pihak yang menembakkan gas air mata itu, mereka adalah personel gabungan, yakni Brimob Polda Jawa Timur dan unit kepolisian Samapta Bhayangkara (Sabhara).
Beka menyampaikan, jenis senjata yang digunakan untuk menembakkan gas air mata itu adalah laras licin panjang. Adapun amunisi yang digunakan adalah selongsong kaliber 37 sampai dengan 38 milimeter, Flash Ball Super Pro 44 milimeter, dan anti-riot AGL kaliber 38 milimeter.
"Amunisi gas air mata yang digunakan merupakan stok tahun 2019 dan telah expired atau kedaluwarsa," tambah Beka.
Beka juga menyampaikan penembakan gas air mata dilakukan tanpa koordinasi dengan Kapolres Malang saat itu. Kemudian, terkait dengan detail waktu, Beka menyampaikan penembakan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu dimulai sekitar pukul 22.08 WIB.
Pada pukul 22.08.59 WIB sampai dengan 22.09.08 WIB, ujar dia, personel Brimob menembakkan gas air mata sebanyak 11 kali ke arah selatan lapangan.
"Setiap tembakan berisi satu sampai lima amunisi gas air mata," ucap Beka.
Berikutnya, personel Brimob kembali menembakkan gas air mata pada pukul 22.11.09 WIB hingga pukul 22.15 WIB. Dalam periode tersebut, Komnas HAM memperkirakan ada sebanyak 24 kali penembakan gas air mata.
Baca Juga:
Komnas HAM Panggil PSTI, Dalami Penanganan Suporter di Tragedi Kanjuruhan
"Kemudian, jumlah amunisi yang terlihat dalam video sebanyak 30 amunisi yang bersumber dari 10 tembakan," ujar Beka.
Senada diungkapkan oleh Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang menyatakan tragedi Kanjuruhan merupakan pelanggaran, namun tidak sampai pada predikat pelanggaran HAM berat.
"Terjadi akibat kesalahan tata kelola yang tidak menghormati norma keselamatan dan keamanan dalam penyelanggaran sepak bola dan terjadi excessive abuse of force," katanya.
Komnas HAM menyebut pelanggaran terjadi karena penggunaan kekuatan berlebihan. Bahkan penembakan gas air mata dilakukan ke tribun penonton dengan jumlah sangat besar.
Berikutnya, terjadi pelanggaran hak hidup karena penggunaan gas air mata baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lalu adanya pelanggaran hak atas kesehatan. Sebab, banyak orang tiba-tiba luka atas gas air mata itu mengalami sesak nafas, trauma, patah tulang.
"Apalagi korban-korban yang potensial mengalami gangguan kesehatan secara permanen itu belum dipikirkan," ujar Anam.
Selanjutnya, Komnas HAM menyebut adanya pelanggaran hak atas rasa aman dalam tragedi Kanjuruhan. Komnas HAM menemukan pertandingan itu termasuk kategori berisiko tinggi.
Kemudian, terjadi pelanggaran hak anak. Pasalnya tragedi Kanjuruhan setidaknya menelan 38 korban jiwa yang masih berusia anak-anak. Ini belum ditambah jumlah korban anak yang luka-luka.
"Ini karena menonjolkan aspek bisnis daripada hak asasi manusia," ucap Anam. (Knu)
Baca Juga:
Respons Permintaan Komnas HAM, PSSI Siapkan Posko Trauma Healing di Malang