LEBARAN identik dengan berbagai sajian kue kering, seperti nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju. Siapa sangka, kudapan khas tersebut ternyata memiliki makna toleransi di baliknya.
Hal tersebut diungkapkan Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman. Mengutip laman ANTARA, Senin (2/5), ia menjelaskan kue kering tersebut mulanya dikenal pada masa kolonial melalui pertukaran hantaran dari keluarga Eropa untuk keluarga priyayi yang merayakan Lebaran. Kue-kue tersebut juga menjadi kudapan biasa dihidangkan pada hari-hari perayaan umat Nasrani.
"Kue-kue kering ini disajikan ketika keluarga-keluarga priyayi merayakan lebaran dan di sini juga ada hantar-menghantar ketika Lebaran. Keluarga-keluarga Eropa menghantarkan makanan seperti kue-kue kering ini untuk keluarga priyayi," kata Fadly.
Baca juga:

Kue kering diadopsi dari kalangan Eropa tersebut, lanjut Fadly, dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, bahan, dan rasa berbeda dengan aslinya. Kastengel atau kaasstengels dalam bahasa Belanda, memiliki bentuk lebih panjang di versi aslinya. Selain bentuk, Fadly mengatakan kualitas keju digunakan pada kastengel di Belanda dan Hindia Belanda juga berbeda.
Lain kastengel, lain nastar. Nastar terinspirasi dari kue pai atau tar Eropa nan biasanya diisi dengan bluberi dan apel. Nastar berasal dari dua kata dalam bahasa Belanda, antara lain ananas (nanas) dan taart (kue). Fadly mengatakan nastar merupakan inovasi dibuat para perempuan Belanda di Hindia Belanda. Kala itu mereka memanfaatkan buah nanas nan hanya tumbuh di daerah tropis sebagai pengganti isian kue.
Baca juga:

"Itulah proses modifikasi, artinya di tangan orang-orang di Hindia Belanda berbeda dengan apa yang dihasilkan di Belanda sana. Kalau kita perhatikan bentuk nastar dan kastengel yang ada di Belanda itu berbeda," ujarnya.
Selain keluarga Eropa, Fadly menambahkan kalangan pengonsumsi kue-kue kering itu mulanya hanya keluarga priyayi atau ningrat. Sebab, merekalah pemilik akses hubungan dengan orang-orang Eropa, hingga kemudian dibuat di rumah-rumah tangga pribumi kebanyakan.
Tradisi hantaran tidak hanya terjadi saat Lebaran, tetapi juga Natal. Maka keluarga pribumi juga turut menghantarkan makanan tradisional.
"Jadi tidak heran kalau pada masa kolonial orang Eropa juga mengenal makanan-makanan khas pribumi, ya, seperti tertulis dalam buku-buku masakan berbahasa Belanda. Mereka bukan hanya menikmati makanan Eropa, tapi juga apa yang dinikmati bumiputra," tutup Fadly. (and)
Baca juga: