Tokyo dan Subkultur Fesyen Jalanannya

Hendaru Tri HanggoroHendaru Tri Hanggoro - Selasa, 26 Juli 2022
Tokyo dan Subkultur Fesyen Jalanannya
Kemunculan subkultur ini mengangkat Tokyo dari kota marjinal dalam fesyen menjadi salah satu pusat fesyen baru pada 1980-an. (Unsplash/Joshua Chun)

FENOMENA Citayam Fashion Week (CFW) yang dipopulerkan remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok) belum juga surut. Belakangan malah tema ini membanjiri medsos seperti Twitter, Instagram, dan TikTok.

Mulai dari nama CFW yang akan dijadikan jenama ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual oleh Baim Wong dan Aditya Nugroho hingga kemunculan remaja lelaki berbusana perempuan.

Beberapa orang menilai CFW sebagai ekspresi natural remaja yang tengah tumbuh mencari identitas dan tak diakomodasi kultur dominan.

"Saya melihat bahwa keberadaan Citayam Fashion Week ini merupakan sarana para anak muda untuk mengungkapkan diri mereka secara jujur melalui sebuah fashion,” kata Luluk Dwi Kumalasari Ridwan Kamil, Kepala Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang dalam rilis resminya.

Sementara itu, Deden Ramdan, akademisi Universitas Pasundan, menyebut CFW mirip dengan Harajuku Style, subkultur fesyen jalanan di Tokyo. "Awalnya dianggap aneh, nyeleneh, tapi lama kelamaan publik menerima," kata Deden, seperti dikutip Antara (25/7/22).

Berbeda dari Deden, Elisa Sutanudjaja, arsitek sekaligus urbanis, melihat ada perbedaan antara Harajuku dan CFW. "Cocokologi Harajuku dan Fashion Week Citayam sebagai subkultur adalah pengamatan prematur dan mengabaikan konteks dan relasi antara industri fashion dan lokasi," tulis Elisa dalam rujak.org/scbdcitayam/.

Elisa juga menyebut fenomena CFW sebenarnya bukan khas Jakarta saja. "Tokyo misalnya, tak akan bisa dilepaskan dari tren Lolita dan streetwear di Harajuku, Gyaru dan Shibuya, Agejo di Shinjuku atau cosplayer di Akihabara," tambah Elisa.

Baca juga:

Asal Mula Istilah 'Created by the Poor, Stolen by the Rich'

subkultur fesyen jalanan
Tokyo bukan lagi kota pengonsumsi dan pengapresiasi fesyen barat secara luas. (Pixabay/Travel Photographer)

Gaya busana itu kemudian menjadi subkultur alias sekelompok orang yang memiliki kepercayaan dan perilaku berbeda dari kebudayaan induk mereka. Meski sering dicela para orangtua setempat, subkultur ini berhasil mengangkat Tokyo dari kota marjinal dalam fesyen menjadi salah satu pusat fesyen baru pada 1980-an.

"Tokyo bukan lagi kota pengonsumsi dan pengapresiasi fesyen Barat secara luas, ia telah menjadi pusat produksi dan gagasan fesyen yang inovatif dengan ciri khasnya sendiri," tulis Yuniya Kawamura dalam Fashioning Japanese Subcultures.

Kemunculan subkultur fesyen itu memiliki satu kemiripan utama : muncul dari jalanan. Di Harajuku, kemunculannya bahkan didukung oleh penutupan jalur kendaraan bermotor (hokosha tengoku) tiap akhir pekan antara 1977-1998.

"Tempat ini menjelma ruang publik--sebuah gagasan baru di Jepang--dan mengundang banyak remaja datang berkumpul dengan pakaian buatannya sendiri yang kreatif," tambah Yuniya.

Meski sama-sama muncul dari jalanan, subkultur fesyen di Tokyo punya citarasa, gaya hidup, dan perilaku yang berbeda. Gyaru di Shibuya, tak jauh dari Harajuku, muncul dengan gaya remaja perempuan sekolah dengan riasan wajah tebal, kulit cokelat, dan rambut terang.

Mereka menolak gaya remaja yang memutihkan kulit, imut, dan keputri-putrian yang diusung oleh kebanyakan pelajar putri Jepang. Kemunculannya didukung pula oleh Department Store Shibuya 109 yang menyediakan berbagai fesyen murah bagi para penganut Gyaru.

Baca juga:

Ikon Citayam Fashion Week, Bonge dan Jeje, Naik Kelas Jadi Bintang Videoklip Keljo

subkultur fesyen jalanan
Kemunculannya didukung pula oleh Department Store Shibuya 109 yang menyediakan berbagai fesyen murah bagi para penganut Gyaru. (Unsplash/Jezael Melgoza)

Lolita di Harajuku justru kebalikannya dari Gyaru. "Lolita merupakan gambaran 'Boneka Victoria' yang mengenakan gaun dengan pernak-pernik, hiasan renda, topi, wig pirang, tas tangan lucu, dan payung. Kata kuncinya kecewek-cewekan dan menyerupai putri bangsawan," terang Yuniya.

Bergeser ke distrik Akihabara dan Ikebukuro, gayanya berubah lagi. "Ini adalah kiblatnya para fans manga dan anime yang membentuk subkultur berbeda," sebut Yuniya.

Remaja di sini berbusana layaknya tokoh-tokoh dalam video games, anime, atau manga. Para pelayan kafe dan restoran di sini pun ikut berbusana seperti pelayan kafe dan restoran dalam video games, anime, atau manga. Biasanya disebut butler cafe atau maid cafe. Pelayannya akan menyapa kamu dengan "Selamat datang, Tuan!" atau "Selamat datang, Nyonya!"

Di Shinjuku, subkultur fesyen jalanannya tumbuh dari pelajar putri yang bekerja paruh-waktu sebagai pelayan di bar dan pub. Mereka disebut Age-Jo atau Caba-Jo. "Remaja putri terpinggirkan dan dianggap rendahan yang tak pernah punya tempat dalam majalah fesyen arus utama sebagai model," terang Yuniya.

Para Age-Jo dan Caba-Jo membuat diri mereka tampak seperti orang Barat. Mereka mewarnai rambut hitam naturalnya dengan cokelat atau pirang. Mata juga dibuat lebih besar. Referensi gaya mereka bersumber utama dari majalah Koakuma Hageha.

Subkultur fesyen jalanan terakhir di Tokyo adalah Gadis Mori (Hutan) dari distrik Koenji. Ciri utamanya, pakaian longgar terbuat dari bahan alami dengan warna natural seperti putih, cokelat, atau krem. Mereka juga mengenakan beberapa lapis pakaian, tapi tak berlebihan.

Berbeda dari subkultur lainnya, Gadis Mori relatif kurang berkembang. "Skala penyebaran subkultur ini terbatas karena kurangnya dukungan lingkungan dan keterlibatan industri. Gerakan akar rumput ini tak cukup populer untuk menyebar luas," catat Yuniya. (dru)

Baca juga:

Ketika Fesyen Jeje, Bonge, Roy 'Bocah SCBD' Naik Kelas

#Citayam Fashion Week #Fashion #Tren Fesyen
Bagikan
Bagikan