Tokoh Muda Papua: Kasus George Floyd Bukan Rasisme

Andika PratamaAndika Pratama - Rabu, 10 Juni 2020
Tokoh Muda Papua: Kasus George Floyd Bukan Rasisme
Tokoh muda Papua, Steve Mara. Foto: Dokumen Pribadi

MerahPutih.com - Publik dunia terhentak dengan kerusuhan di Amerika Serikat setelah terjadinya kasus kematian George Floyd. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan demonstrasi yang dilakukan di Amerika bahkan di beberapa negara lain di Dunia.

Tokoh muda Papua, Steve Mara menjelaskan dalam pandangan teori dominasi sosial terlihat bahwa ada 2 kelompok yang menempatkan diri mereka sesuai dengan penelitian kelompok mereka sendiri: kelompok dominan dan kelompok subordinat.

Baca Juga

Unjuk Rasa Antirasialisme Bisa Cetuskan COVID-19 Gelombang Dua, ini Alasannya

Dijelaskan kelompok dominan merupakan kelompok yang ada di atas dan disebut sebagai kelompok menang yang memiliki kekuasaan dan seluruh nilai positif. Sedangkan kelompok subordinat adalah kelompok di sisi bawah yang tidak menang, tidak memiliki kekuasaan, dan dianggap minoritas.

Dari kedua kelompok tersebut, kata Steve, maka dapat dianalisis bahwa kelompok yang menentang rasisme adalah kelompok subordinat atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Sedangkan kelompok dominan adalah pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk menindas kelompok minoritas.

"Kasus George Floyd di Amerika bukanlah konflik yang terjadi antara kelompok dominan dan kelompok subordinat, namun konflik ini bermula setelah pria kulit hitam tersebut diduga menggunakan uang palsu di salah satu swalayan dan dikunci oleh kepolisian serta lehernya ditekan pakai lutut sehingga George Floyd kehabisan nafas dan meninggal," kata Steve dalam keterangannya, Rabu (10/6).

Kerumunan pengunjuk rasa bisa memicu lonjakan kasus COVID-19.(Foto: Unsplash/Obi Onyeader)
Kerumunan pengunjuk rasa bisa memicu lonjakan kasus COVID-19.(Foto: Unsplash/Obi Onyeader)

Steve menuturkan tidak tercium bau rasisme dari kasus ini melainkan kelalaian petugas yang mengakibatkan kematian terduga pengguna uang palsu. Petugas yang melakukannya dihukum dengan hukuman pembunuhan tingkat 2 serta beberapa petugas lain yang bertugas bersama pada saat itu dihukum dengan hukuman pembunuhan tingkat 3.

"Pergerakan masa yang melakukan demonstrasi besar-besaran serta perlawanan di Amerika, merupakan hasil dari propaganda media yang mengaitkan isu kematian George Floyd dengan Rasisme," ujarnya.

Padahal jika dilihat kembali ke belakang, Barack Obama merupakan Presiden kulit hitam yang sangat disegani masyarakat di seluruh dunia, bahkan Obama sering dikatakan sebagai Presiden Dunia.

"Maka kasus George Floyd tidak bisa kita katakan sebagai rasisme melainkan kelalaian petugas atau dengan bahasa kasarnya kita sebut pembunuhan terhadap warna negara," kata dia.

Untuk itu, menurut Steve, kasus rasisme atau perbedaan warna kulit perlu untuk direfleksikan kembali. Pasalnya, saat ini masih banyak warga Indonesia yang termakan propaganda yang dimainkan lewat media untuk menciptakan konflik di Papua.

"Sehingga perlu saya ingatkan kembali bahwa dalam membaca dan melihat sebuah berita perlu kita lihat secara utuh agar kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi masa kini," ujarnya.

Selain itu, kata Steve, kecenderungan manusia yang tidak mau mencari pembanding sehingga dengan sangat mudah menelan informasi yang diterima kemudian dibagikan. Banyaknya informasi yang beredar juga menjadi alasan pembenar bagi sebuah kasus sehingga sebagai masyarakat harus pandai melihat pemberitaan dan menganalisis sebelum kita bagikan dan mempengaruhi orang lain.

"Jangan sampai kecenderungan kita menelan informasi secara dangkal akan berakibat menjadi konflik yang lebih besar. Narasi positif harus terus kita bangun, seperti kita tidak sama tetapi bisa bekerja sama, kita tidak satu tetapi bisa bersatu," pungkasnya. (Pon)

#Amerika Serikat
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan