Toa Banjir Tak Efektif, PSI: Ujung-ujungnya Anies Mengkritisi Kebijakan Ini

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Minggu, 09 Agustus 2020
Toa Banjir Tak Efektif, PSI: Ujung-ujungnya Anies Mengkritisi Kebijakan Ini
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Foto: MP/Asropih)

Merahputih.com - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menilai pengeras suara atau Toa bukan termasuk dalam sistem peringatan dini (early warning system/EWS) banjir di Jakarta. Padahal, program tersebut sepengetahuan dirinya.

Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Sosial Indonesia (PSI) Justin Adrian menyebutkan, pengadaan toa sebagai sistem peringatan banjir merupakan kebijakan "coba-coba".

"Karena hasilnya tidak efektif dan tidak memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Bahkan ujung-ujungnya Anies sendiri seperti ikut mengkritisi kebijakan toa ini," kata Justin dalam keteranganya kepada wartawan, Sabtu (8/8).

Baca Juga:

Krisis Demokrasi Melanda Universitas Nasional

Fraksi PSI menganggap Anies tidak konsisten atas kebijakan dan pernyataannya sendiri.

"Bisa jadi tidak konsisten. Tapi bagi kami, sepertinya Anies memang bukan tipe pemimpin yang memiliki kemampuan berpikir panjang dan strategis," ucapnya.

Ia mengingatkan Anies agar tidak sibuk dengan urusan toa. Pasalnya, Jakarta lebih membutuhkan alat penanggulangan banjir yang optimal.

Justin pun meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera memikirkan pencegahan banjir jangka panjang.

"Terkait pentingnya pelaksanaan penanggulangan banjir jangka menengah dan panjang, PSI meminta Anies tidak hanya bawel tentang toa. Tapi agar segera mulai bekerja nyata, dengan segera melakukan koordinasi dengan Kementerian PUPR," kata Justin.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah), Direktur Utama TransJakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo (kanan) bersama dengan jajaran direksi PT TransjJkarta saat meninjau depo bus PT TransJakarta di Jalan Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta (1/8/2020). (ANTARA/HO-PT Transjakarta)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah), Direktur Utama TransJakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo (kanan) bersama dengan jajaran direksi PT TransjJkarta saat meninjau depo bus PT TransJakarta di Jalan Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta (1/8/2020). (ANTARA/HO-PT Transjakarta)

Jika KemenPUPR tidak menganggarkan pekerjaan konstruksi normalisasi sungai di APBD 2021, lanjut Justin, maka normalisasi baru dapat dikerjakan tahun 2022.

"Bila terjadi banjir di 2020 dan 2021, maka rakyat akan menjadi menjadi korban nyata dari Kinerja Gubernur," imbuh Justin.

Ia menyebut, sebaiknya koordinasi ini bisa segera dilakukan, karena pekerjaan penanganan banjir ini harus dikerjakan bersama-sama.

"PSI harap tidak ada dikotomi pusat-wilayah, agar penanganan banjir bisa maksimal, sehingga masyarakat DKI Jakarta bisa terlepas dari banjir," tutup Justin.

Berdasarkan rekaman yang diunggah pada Kamis lalu tersebut, Anies mengungkapkan hal itu saat rapat bersama para pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membahas tentang pengendalian banjir.

Anies saat itu membahas EWS di Jakarta dan meminta jajarannya membuka salah satu materi presentasi mengenai disaster warning system (DWS).

Dalam paparan tersebut, terdapat gambar pengeras suara yang masuk ke dalam bagian DWS yang akhirnya diprotes dan ditegaskan bahwa Toa bukan bagian dari DWS.

Baca Juga:

Peringati Kudatuli, PDIP: Demokrasi Arus Bawah Redamkan Rezim Otoriter-Tirani

Menurut Anies, yang dimaksud sistem adalah ketika tiap SKPD di Jakarta sudah mengetahui apa yang harus dilakukan ketika ada peringatan banjir.

"Sistem itu kira-kira begini, kejadian di Katulampa (tinggi) air sekian, keluarlah standar operasionalnya. Dari Dishub, Dinas Kesehatan, MRT, Satpol, seluruhnya itu tahu wilayah mana yang punya risiko. Jadi, sebelum kejadian, kita sudah siap. Hari ini kalau kejadian, kita 'kedandapan' (kaget) terus, seakan-akan ini banjir pertama. Dan tanah ini sudah puluhan tahun kena banjir," kata Anies.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menyebutkan bahwa Jakarta harus benar-benar membuat sistem peringatan banjir dan perlunya mengevaluasi penggunaan pengeras suara yang awalnya merupakan alat hibah dari Jepang namun kemudian malah ditambahkan alatnya. (Knu)

Menurut dia, alat Toa tersebut digunakan Jepang sebagai peringatan dini tsunami karena harus berfungsi dengan cepat.

Sedangkan banjir di Jakarta biasanya memiliki rentang waktu yang cukup lama dari peringatan hingga kejadian, sehingga menurutnya pengeras suara tidak terlalu dibutuhkan untuk peringatan dini banjir. (Knu)

#Anies Baswedan #Banjir
Bagikan
Bagikan