Merahputih.com - Koordinator Pengawal Pancasila Petrus Selestinus mengkritisi pernyataan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang menyebut penangkapan beberapa anggotanya sebagai tindakan yang menyalahi prosedure hukum.
"Pandangan KAMI yang demikian, jelas tidak memiliki landasan hukum dan tidak memiliki alasan logis dilihat dari tugas, fungsi dan tanggung jawab besar di pundak Polri selaku Penegak Hukum dan ketertiban yang sudah sering menghadapi aksi demo besar demi menyelematkan negara dan masyarakat dari aksi-aksi anarkis," jelas Petrus kepada Merahputih.com di Jakarta, Kamis (15/10).
Petrus melihat, penangkapan terhadap Syahganda Nainggolan bukan karena mereka berasal dari anggota atau pimpinan KAMI.
Baca Juga:
Tak Mungkin Ditinggal, Dedengkot KAMI yang Diciduk Polisi Diberi Bantuan Hukum
Tetapi karena di tangan Polisi sudah terdapat bukti yang beralasan untuk menyangka Syahganda Nainggolan dkk telah menyebarkan berita bohong dan dapat menimbulkan keonaran di tengah Masyarakat. "Tindakan Polisi tidak dapat dikualifikasi sebagai tindakan represif," sebut Petrus.
Petrus menyebut, tidak ada pembeda dari Polri untuk siapapun pelaku anarkis yang mengganggu ketertiban umum, termasuk apakah Syahganda Nainggolan cs adalah aktor utama atau hanya operator pelaku lapangan karena telah terdapat bukti menyebarkan berita bohong dan memimbulkan keonaran, m
"Mendahulukan kepentingan umum, sudah menjadi jati diri Polri, karena itu beralasan untuk abaikan saja ratapan KAMI dengan dalih gerakan moral," ungkap Petrus.
Sebelumnya, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyesalkan penangkapan sejumlah tokoh oleh kepolisian di tengah gelombang penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja. KAMI menilai aksi penangkapan tokoh-tokoh itu sebagai bentuk tindakan represif institusi Polri.
Hal tersebut disampaikan KAMI dalam pernyataan tertulis, Rabu (14/10). Pernyataan resmi itu ditandatangani Presidium KAMI Gatot Nurmantyo, Rochmat Wahab, dan Din Syamsuddin.
"KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat," bunyi pernyataan tertulis KAMI.
Untuk diketahui, setidaknya delapan aktivis KAMI di Jakarta dan Medan ditangkap seiring demonstrasi penolakan omnibus law UU Cipta Kerja di sejumlah daerah. Empat orang ditangkap di Medan, Sumatera Utara, dan empat lainnya ditangkap di Jakarta.

Mereka yang ditangkap di Medan yakni Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, dan Khairi Amri. Nama terakhir merupakan Ketua KAMI Medan.
Kemudian, empat orang yang ditangkap di Jakarta antara lain, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Kingkin Anida.
Anton, Syahganda dan Jumhur merupakan petinggi KAMI. Anton adalah deklarator, sementara Syahganda dan Jumhur merupakan Komite Eksekutif.
KAMI menyatakan penangkapan mereka, khususnya Syahganda dinilai tidak lazim dan menyalahi prosedur. Mereka menganggap penangkapan tokoh-tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis, dengan menggunakan instrumen hukum.
Tidak hanya itu, KAMI juga menilai keterangan pers yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono kemarin tidak sesuai fakta. KAMI menilai, konferensi pers tersebut mengandung nuansa pembentukan opini publik.
Selain itu, konferensi pers tersebut juga menggeneralisasi dengan mengaitkan lembaga secara tendensius, serta bersifat prematur, yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses pemeriksaan yang masih berlangsung.
Baca Juga:
Diduga Sebar Hoaks dan Menghasut, Sejumlah Petinggi KAMI Dijadikan Tersangka
KAMI juga menduga ponsel beberapa tokoh KAMI diretas atau dikendalikan oleh pihak tertentu, sehingga besar kemungkinan disadap atau dikloning. Menurut KAMI, hal tersebut sering dialami oleh para aktivis yang kritis terhadap penguasa.
"Termasuk oleh beberapa Tokoh KAMI. Sebagai akibatnya, bukti percakapan yang ada sering bersifat artifisial dan absurd," demikian kutipan paparan dari rilis KAMI.
Atas dasar itu, KAMI pun meminta agar Polri untuk segera membebaskan para tokohnya dari tuduhan yang dikaitkan dengan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). KAMI menilai banyak pasal karet dalam undang-undang tersebut. (Knu)