Tiga Unsur Bangsa Ini Jadi Benteng Terakhir Menjaga Pertahanan Negara

Andika PratamaAndika Pratama - Senin, 22 Juli 2019
Tiga Unsur Bangsa Ini Jadi Benteng Terakhir Menjaga Pertahanan Negara
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah. Foto: MP/Kanu

MerahPutih.com - Ancaman terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai ideologi bangsa disinyalir masih bergulir hingga kini. Oleh karena itu, tiga unsur bangsa yaitu kaum nasionalis, Islam dan TNI, sebagai pihak yang turut melahirkan Indonesia harus mengawal ideologi bangsa tersebut sampai kapan pun.

Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah mengatakan, Kaum nasionalis, Islam dan TNI punya peran strategis dalam memerdekakan serta menyusun konstitusi sebagai dasar negara. Karena itu, Wakil Ketua MPR RI ini menegaskan, tiga unsur tersebut pulalah yang menjadi garda terdepan bangsa melawan pihak-pihak yang ingin mengganti konsep kebangsaan yang sudah baku saat ini.

Baca Juga: Ancaman Ideologi, Menhan Ryamizard: Kalau Tidak Mau Pancasila, Pindah ke Negara Lain Aja

"Kami ketahui bahwa akhir-akhir ini ada pihak-pihak yang sengaja untuk mengganti fundamental bernegara kita. Pemilu kemarin sarana mengkapitalisasi hal-hal yang mempersoalkan sejarah Indonesia yang sudah final, terlihat. Muncul pertentangan relasi antara agama dan negara," kata Basarah dalam dialog Peradaban Bangsa Nasionalis, Islam dan TNI bertajuk Siapa Yang Melahirkan Republik Harus Harus Berani Mengawalnya di Kantor GMNI, Jakarta Pusat, Senin (22/7).

Ahmad Basarah. Foto: MP/Kanu
Sekjen PBNU Faishal Zaini. Foto: MP/Kanu

Basarah melihat ada pihak yang ingin mengubah konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuk negara lain. Karena itu, diskusi ini mengundang Jenderal TNI (purn) Moeldoko, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto untuk melihat kondisi pertahanan, agama dan ideologi bangsa hari ini.

Untuk pertahanan negara, Moeldoko menekankan bahwa TNI memiliki doktrin untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Namun, dia menyadari selama ini kaum nasionalis dan agama tetap menjadi faktor penentu yang membuat negara bertahan dengan ideologi dan kebhinekaannya.

"Tidak perlu diragukan kalau bicara Islam, jelas perjuangan bagian dari iman. Kalau kami lihat kelompok nasionalis, kalau tidak ada nasionalis, ambruk negara ini. Posisi nasionalis ini bisa bertahan dari tarikan kanan dan kiri. Kalau kolaborasi dengan TNI, siapa pun yang mengganggu, kami gulung saja," kata Moeldoko.

Moeldoko juga mengisahkan bagaimana Indonesia secara politik dan sosial bisa bertransformasi dari pemerintahan totaliter menuju demokrasi. Menurut dia, banyak negara tidak mampu meniru Indonesia sehingga negara seperti Libia, Mesir dan Suriah, jatuh. Ada juga yang transformasi itu gagal seperti Myanmar karena kekuatan militernya begitu kuat sehingga melahirkan konflik sampai hari ini.
"Indonesia berhasil menjaga alam demokrasi. Karena itu kalau ada yang tanya demokrasi kita gagal, di mananya gagal?" tanya Moeldoko.

Kepala Staf Kepresidenan ini juga kerap bertukar pikiran dengan Panglima Myanmar bagaimana Indonesia bisa menggeser kekuatan dwifungsi secara baik. Moeldoko sendiri mengaku tidak mudah untuk menjaga dua kutub antara nasionalis dan agama untuk mempertahankan stabilitas negara.

Baca Juga: Menhan: Paling Penting Tanamkan Ideologi Pancasila

"Antara demokrasi dan anarkis ini sebenarnya beda-beda tipis. Tapi di sisi lain, demokrasi tak boleh terganggu harus dikawal sebaik-baiknya," jelas Moeldoko.

Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan bahwa Indonesia adalah rumah untuk rakyatnya. Karena itu, rakyat harus meyakini Pancasila, Bineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai dasar bernegara.

"Muhammadiyah bertanggung jawab sejak awal bahwa Pancasila milik kita bersama yang dalam rumusan Muktamar Muhammadiyah disebut Darul Ahdi Wassahadah. Konsensus segala bangsa harus hadir di dalamnya memberi makna kehadiran kita kemudian memberi kontribusi negara yang sesuai cita-cita bangsa sesuai alinea keempat pembukaan UUD 1945," kata Abdul.

Sementara itu Sekjen PBNU Faishal Zaini menambahkan, pihaknya dalam mengawal NKRI selalu mengedepankan pendidikan sejak dini. Pendidikan dari pondok pesantren diyakini menjadi sumber penopang bagi masyarakat nusantara dalam memahami ideologi bangsa.

Meski begitu, Faishal mengingatkan masih ada pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menghilangkan ketimpangan ekonomi. Menurut dia, masalah ini harus dicarikan solusinya oleh pemerintahan yang mendatang agar negara dalam tatanan yang damai.

Moeldoko. Foto: MP/Kanu
Moeldoko. Foto: MP/Kanu

"Bagi NU, politik itu untuk membangun negara yang adil dan sejahtera, ujungnya melahirkan kemaslahatan. Bahwa kebijakan seorang pemimpin itu harus terkait langsung dengan kemaslahatan. Siapa pun jadi pemimpin sepanjang lahirnya kemaslahatan di masyarakat, kami pasti dukung," kata Faishal.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menambahkan, baik TNI, Muhammadiyah dan NU, pasti menjaga Indonesia dari ancaman yang mengganggu Pancasila dan UUD 1945. Namun, dalam jangka pendek ini, pemerintah juga harus menyusun kabinet agar program-program negara sesuai dengan amanat konstitusi.

"Ketika saat ini bicara nama-nama menteri bahwa menjadi menteri bukan ambisi orang per orang. Dia harus menguasai sejarah, kemampuan kepemimpinan, mata hatinya untuk rakyat jelata," kata Hasto.

Baca Juga: Perbedaan Ideologi Ini Buat Pertikaian Politik Berlanjut di Pilpres 2024

Hasto memaparkan desain koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin berdasarkan empat bagian. Dia mendorong pemerintah untuk berpijak pada empat bagian ini agar pembentukan kabinet membawa semangat sejarah dan gotong royong.

"Penataan sistem presidensial, konsolidasi ideologi, berpijak pada sejarah dan kesepakatan terhadap agenda strategis," jelas Hasto. (Knu)

#Ahmad Basarah #Jenderal Moeldoko #Hasto Kristiyanto
Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Bagikan