Tiga Hukuman untuk Lembaga Survei yang Bikin Quick Count Ngawur

Thomas KukuhThomas Kukuh - Selasa, 23 April 2019
Tiga Hukuman untuk Lembaga Survei yang Bikin Quick Count Ngawur
Rangkuman hasil quick count Pilpres 2019 dari sejumlah lembaga survei (Foto: antaranews)

MerahPutih.com - Pengamat politik Silvanus Alvin mengkritik para tokoh yang ngotot mengklaim kemenangan di Pilpres 2019 padahal hasil resmi KPU belum keluar. Sebab, sikap tersebut tak menunjukkan sosok negarawan sejati.

Contohnya adalah kubu Prabowo-Sandi yang terus melakukan manuver politik.

"Elit politik harus bersikap layaknya seorang negarawan. Mengutamakan negara maupun kepentingan masyarakat di atas nafsu pribadi untuk berkuasa. Jangan gelap mata sampai menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan pribadi," kata Silvanus, Selasa (23/4).

Menurut Lulusan Master of Arts dari University of Leicester ini, aparat penegak hukum harus turun tangan menangani polemik perbedaan pendapat quick count. Penegak hukum harus melakukan investigasi.

Kata dia, jika polemik ini tidak dihentikan, masyarakat bisa terpecah dan bangsa Indonesia juga jadi korban. “Di era post truth, individu hanya ingin memercayai apa yang mereka kehendaki saja,” ujarnya.

Kondisi demikian, kata dia, tidak bisa dibiarkan. Kebenaran yang hakiki haruslah yang dijunjung tinggi. “Mereka yang dengan sengaja menyebarkan informasi palsu serta menyesatkan atau hoaks terkait hasil quick count Pilpres 2019 harus dihukum dengan tegas," jelas Silvanus.

Ia menganggap, hukuman para penyebar hoaks harus setara dengan para koruptor.

"Kalau koruptor yang mencuri uang rakyat, masih ada teknis agar koruptor mengembalikan uang curian ataupun disita asetnya," imbuh pengajar Ilmu Politik di Universitas Bunda Mulia ini. Tapi penyebar hoaks tidak bisa seperti itu.

Ilustrasi
Ilustrasi surat suara. (Antara)

Silvanus menyambut baik berbagai lembaga survei di bawah naungan Persepi yang sudah membuka ‘dapur’ mereka. Hal itu lantaran lembaga survei di bawah naungan Persepi selalu dituduh menggiring opini publik.

Nah sekarang saatnya pihak penuduh yang membuka data dan metodologi.

"Pembuktian harus transparan. Kalau perlu media menanyangkan secara live. Biar publik tahu mana yang benar dan salah. Jangan biarkan polemik saling klaim hasil quick count tenggelam begitu saja seperti 2014. Hal ini diperlukan agar masyarakat tahu mana yang benar dan yang salah," terang Silvanus.

Tidak hanya itu, pembuktian dari polemik saling klaim quick count ini juga untuk menjaga marwah dunia akademis. Bahwa dunia akademis harus objektif.

Jangan sampai dunia akademis malah dipolitisasi, apalagi dimanfaatkan sampai berdampak memecah bangsa.

Bagaimana dengan individu atau lembaga yang terbukti memainkan quick count dengan data dan metodologi ngawur? Kata dia mereka harus diberi berbagai sanksi.

Pertama lemaba itu harus di black list agar tidak boleh lagi terlibat dalam proses quick count. Yang kedua mereka harus meminta maaf secara terbuka ke masyarakat umum di media dan juga diunggah ke media sosial agar diketahui masyarakat.

Yang ketiga, lanjut Silvanus, mereka juga harus membongkar alasan melakukan penyesatan informasi. "Apakah disuruh oleh orang maupun pihak tertentu? Kalau iya, haruslah mereka mengungkap siapa dalangnya. Polisi diharapkan mengusut tuntas tanpa melihat latar belakang orang tersebut," tutup Silvanus. (knu)

#Pemilu 2019 #Pilpres 2019
Bagikan
Ditulis Oleh

Thomas Kukuh

Bagikan