MerahPutih.com - Kasus kekerasan di Kota Yogyakarta selama pandemi meningkat signifikan dibanding sebelum pandemi COVID-19. Data menunjukkan perempuan dan anak menjadi korban terbanyak yang menerima kekerasan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Yogyakarta, Edy Muhammad mengatakan berdasarkan data tahun 2020, kekerasan berdasarkan jenis kelamin laki-laki yang diperoleh 17 orang. Sedangkan, jenis kelamin perempuan sebanyak 186 orang.
Baca Juga
Puluhan Siswa Positif COVID-19, Pemkot Yogyakarta Tetap Lanjutkan Sekolah Tatap Muka
Namun, di tahun 2021 data kekerasan lebih besar dialami oleh perempuan yakni sebanyak 250 orang dan laki-laki sebanyak 10 orang.
"Sebanyak 90 persennya adalah kekerasan pada perempuan," jelas Edy di sela peringatan Hari Antikekerasan di Yogyakarta, Rabu (1/12)
Terdapat tiga faktor utama yang menjadi penyebab munculnya kasus kekerasan tersebut, yaitu karakter atau kepribadian orang yang memang gemar marah dan suka melakukan tindak kekerasan. Hal kedua adalah faktor ekonomi, terakhir karena ada campur tangan orang lain.
Sebelum pandemi, lanjut Edy, faktor orang lain biasanya muncul dari orang di luar keluarga inti. Namun selama pandemi justru muncul banyak kasus kekerasan di dalam keluarga.
Edy melanjutkan kasus kekerasan pada anak juga mengalami kenaikan, dari 39 kasus pada 2020 menjadi 55 kasus hingga Oktober 2021. Dari data yang diperoleh sebanyak 30 persen tingkat kekerasan banyak dialami oleh anak perempuan.
“Sebelum pandemi, kasus kekerasan pada anak banyak terjadi di sekolah, namun sejak sekolah dilakukan secara daring, kasus kekerasan pada anak pun lebih banyak terjadi di rumah,” katanya.

Meningkatnya kasus kekerasan anak di dalam rumah, lanjut Edy, dimungkinkan terjadi karena intensitas pertemuan antar- anggota keluarga yang lebih tinggi dibanding sebelum pandemi. Sebagian besar adalah kekerasan psikis.
“Mungkin juga orang tua mengalami banyak tekanan akibat harus menjadi guru untuk anak yang sekolah daring dan tetap harus mengerjakan pekerjaan lain di rumah atau karena tekanan ekonomi karena pandemi,” katanya.
Baca Juga
Meskipun kasus kekerasan pada perempuan dan anak meningkat selama pandemi, Edy mengaku perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan korelasi pandemi dengan tindak kekerasan.
“Secara tidak langsung, pandemi memang bisa menjadi faktor meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tetapi, perlu kajian mendalam untuk memastikannya,” katanya.
Korban yang mengalami kekerasan fisik akan ditangani secara medis. Sedangkan korban yang mengalami kekerasan psikis akan didampingi dari sisi kejiwaan oleh psikolog dan tidak semua kasus kekerasan dibawa ke ranah hukum.
“Keputusan apakah kasus dibawa ke ranah hukum atau tidak, sepenuhnya kami serahkan ke korban. Itu menjadi hak mereka, karena terkadang ada kondisi-kondisi tertentu yang dilematis, seperti dampak ekonomi yang akan dialami dan faktor lainnya,” katanya.
Sedangkan upaya pencegahan munculnya kasus kekerasan, katanya, dapat dimulai dari keluarga dengan membangun komunikasi yang baik di dalam keluarga dengan penguatan pada agama.
“Kami pun membuka konsultasi melalui Pusat Pembelajaran Keluarga apabila keluarga tersebut tidak bisa menyelesaikan masalah yang muncul, sehingga tidak berlarut menjadi tindak kekerasan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Forum Perlindungan Korban Kekerasan Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun menyebut meningkatnya angka kekerasan pada perempuan dan anak selama pandemi menjadi keprihatinan bersama.
“Kampanye program Three End harus tetap dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan angka kekerasan,” katanya.
Program Three End yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meliputi upaya untuk mengakhiri kekerasan pada perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, dan mengakhiri kesenjangan ekonomi. (Teresa Ika/Yogyakarta)
Baca Juga