MerahPutih.com - Inflasi yang terus melonjak dan tidak menunjukkan tanda-tanda adanya pelonggaran yang jelas di Amerika Serikat, akhirnya membuat Federal Reserve AS atau bank sentral AS pada Rabu (27/7) menaikkan suku bunga acuannya.
Inflasi yang tinggi ini, mencerminkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan akibat dampak pandemi COVID-19, harga pangan dan energi yang tinggi akibat perang di Ukraina, membuat The Fed harus naikkan suku bunga sebesar 75 basis poin untuk kedua kalinya dalam tahun ini.
Baca Juga:
Indonesia Harus Bersiap Terhadap Dampak Pandemi COVID-19 dan Resesi
"Perang (di Ukraina) dan peristiwa terkait menciptakan tekanan tambahan pada inflasi dan membebani aktivitas ekonomi global," tulis The Fed dalam sebuah pernyataan.
Di sisi lain, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), badan pembuat kebijakan Fed, memutuskan untuk menaikkan kisaran target suku bunga dana federal menjadi 2,25 hingga 2,50 persen. Di mana, semua 12 anggota komite memberikan suara untuk keputusan tersebut.
Komite mencatat bahwa mereka juga akan terus mengurangi kepemilikannya atas sekuritas pemerintah dan utang agensi dan sekuritas yang didukung hipotek agensi.
Langkah terbaru datang setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin pada pertemuan Juni, menandai kenaikan suku bunga paling tajam sejak 1994. The Fed sebelumnya menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Maret dan kemudian sebesar 50 basis poin pada Mei.
Indeks harga konsumen (IHK) utama tetap di atas 8,0 persen sejak Maret tahun ini. Sementara IHK pada Juni melonjak 9,1 persen dari setahun lalu, mencapai level tertinggi baru empat dekade.
"Sementara kenaikan luar biasa besar lainnya mungkin sesuai pada pertemuan kami berikutnya, itu adalah keputusan yang akan bergantung pada data yang kami dapatkan antara sekarang dan nanti," kata Ketua Fed Jerome Powell pada Rabu (27/7).
Powell, mengutip proyeksi ekonomi triwulanan terbaru yang dirilis pada Juni, yang menunjukkan proyeksi median FOMC untuk suku bunga Federal Fund pada akhir tahun ini adalah 3,4 persen. Namun, ia menolak pandangan bahwa ekonomi AS sudah dalam resesi, dengan alasan kekuatan pasar tenaga kerja.
"Kami tidak mencoba untuk mengalami resesi dan kami tidak berpikir kami harus melakukannya," katanya dikutip Antara.
Ekonomi AS diperkirakan telah menyusut pada tingkat tahunan 1,2 persen pada kuartal kedua. Dengan penurunan kuartal pertama sebesar 1,6 persen, pertumbuhan negatif kuartal kedua berturut-turut akan memenuhi definisi teknis resesi.
Baca Juga:
Dampak Perang Rusia Ukraina Berlanjut, Berbagai Negara Hadapi Resesi