Banyuwangi, Bumi Blambangan

Tari Gandrung 'Lanang' Banyuwangi, Alat Perjuangan Melawan VOC

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Jumat, 14 September 2018
Tari Gandrung 'Lanang' Banyuwangi, Alat Perjuangan Melawan VOC
Tari Gandrung Banyuwangi. (Sumber: osengisme.blogspot.com)


MBOK Midah nyaris putus asa. Ia tak kuasa melihat salah satu anaknya berumur 10 tahun, Semi, berhari-hari terbaring merintih menahan sakit. Obat-obatan sudah tak lagi mempan.

Di tengah keputusasaan, Mbok Midah menembus keheningan malam Desa Cungking, Mojopanggung, Banyuwangi, untuk bernazar.

"Adung sira mari, sun dadekna seblang, kadung sira sing mari using. (Kalau engkau sembuh, kujadikan kau penari seblang, jika tidak sembuh, tidak)," ucapnya.

Keesokan hari, panas tubuh anaknya mereda, tak lagi merintih, dan berangsur-angsur pulih.

Mbok Midah pun menepati nazarnya. Ia lantas membakar setanggi, merapal, lalu meminta putrinya menghirup asap nan mewangi.

Tak lama, Semi roboh tak sadarkan diri. Trance. Tubuhnya bergerak meliuk tak keruan. Seturut pula Mbok Midah kerasukan, melagukan tembang Seblang-Seblang, Cengkir Gading, Podho Nonton, dan Pudak Sempal.

Gerakan Semi semakin telengas meningkahi tembang. Tariannya kemudian, menurut cerita tutur masyarakat Banyuwangi, dianggap sebagai awal mula perubahan Tari Seblang menjadi Tari Gandrung.

Tari Seblang merupakan tarian tradisional Banyuwangi ditarikan dua orang laki-laki berusia sekira 9-10 tahun berbusana perempuan dengan kondisi kerasukan.

Kisah tersebut, menurut Novi Anoegrajakti pada disertasi berjudul "Gandrung Bayuwangi: Pertarungan Pasar, Tradisi, dan Agama, Memperebutkan Representasi Identitas Using", agak sukar dicerna sebagai bukti perkembangan Tari Seblang menjadi Gandrung.

Meski begitu, lanjut Novi, kemiripan tembang dan gerak tari keduanya memungkinkan Tari Seblang memliki pengaruh besar terhadap perkembangan Tari Gandrung.

Sementara, John Scholte pada publikasi bertajuk Gandroeng van Banjoewangi (1927), berpendapat kehadiran Tari Gandrung berkaitan dengan pengangkatan Mas Alit sebagai bupati dan pemindahan ibukota Blambangan.

Tari Gandrung Banyuwangi, lanjut Scholte, sampai tahun 1890 ditarikan seorang lelaki. Para "Gandrung" itu serupa para "Runding" di Madura atau "Gemblak" di Jawa.

Penari Gandrung Lanang (Lelaki) terakhir di Banyuwangi bernama Marsan.

"Kalau penari Gandrung lainnya mengabdikan diri pada seni tari dan suara sampai usai enam belas tahun, Marsan menekuninya sampai meninggal di usia empat puluh tahun, pada 1890," tulis Scholte.

Di masa Marsan, Gandrung tak hanya berfungsi sebagai tarian hiburan, melainkan alat perjuangan melawan VOC.

Para penari Gandrung kala itu berkeliling (ngamen) menggunakan alat musik sederhana, seperti terbang (rebana) dan kendang, tanpa riasan dan aksesoris.

Mereka, lanjut Novi, berperan sebagai mata-mata, penyampai pesan-pesan simbolik, dan penghimpun berbagai logistik untuk para pejuang di hutan.

Seorang penduduk Banyuwangi nan pernah menyaksikan pertunjukan Gandrung pada tahun 1937, Fatrah Abal, menceritakan haru-biru penonton saat pertunjukan memasuki babak ketiga, disebut Seblang-Seblang.

Gending dan tarian saat babak ketiga, menurutnya, menyimbolkan penyerbuan VOC terhadap Kerajaan Mengwi. Tak heran banyak penonton kali itu kerap berlinang air mata.

Sepeninggal Marsan, Tari Gandrung kemudian ditarikan para perempuan hingga kini. (*)

#Banyuwangi, Bumi Blambangan
Bagikan
Bagikan