Tanpa Dapatkan Harun Masiku, Penangkapan Djoko Tjandra Tak Berarti Apa-apa
MerahPutih.com Penangkapan buronan kelas kakap Djoko Tjandra dinilai tak berarti apa-apa jika para terduga koruptor lainnya tak ditangkap. Salah satunya Harun Masiku yang kini tak terdeteksi jejaknya.
Praktisi hukum Suparji Ahmad mendesak Polri untuk segera bekerja secara profesional dengan menangkap para buronan pemerintah. Salah satunya yang menjadi suara publik adalah menangkap tersangka penyuap eks komisioner KPU, Wahyu Setiawan itu.
Baca Juga:
Anak Buah Jokowi Ditantang Tunjukkan Keberanian Tangkap Harun Masiku
"Ini tantangan bagi aparat penegak hukum untuk tidak diskriminatif kalau memang buron segera ditangkap, kalau tidak akan menimbulkan pekerjaan besar aparat penegahk hukum," jelas Suparji kepada wartawan yang dikutip di Jakarta, Senin (3/8).
Suparji mengatakan, dengan kemampuan Korps Bhayangkara seperti saat ini jika Polri tidak bisa segera menangkap, kepercayaan publik akan sangat sulit didapatkan.
"Maka bekerjalah secara profesional dan proosional dengan kerja nyata menangkap buronan termasuk Harun Masiku. Jika tidak akan jadi blunder dan publik makin ragu pada Polri," jelas Suparji yang juga pengajar di Universitas Al Azhar ini.
Suparji mengaku merasa aneh dengan penangkapan Djoko Tjandra.
Ia menilai, penangkapan Djoko Tjandra yang menjadi buronan selama 11 tahun justru menimbulkan keraguan publik.
Alasannya, instruksi Presiden kepada Kapolri menunjukkan Polri menangkap Djoker karena mendapat tekanan publik.
"Terlepas apresiasi harus diberikan ke Polri, perlu upaya membangun trust publik kepada Polri sehingga betul ada kepercayaan secara utuh," terang dia.
"Orang kan masih ragu kenapa kok baru sekarang, ada apa di balik penangkapan ini," jelas dia.
Suparji berpandangan, bisa jadi penangkapan buronan Djoko Tjandra adalah jawaban dari tidak perlunya pembentukan tim pemburu koruptor yang disuarakan Menko Polhukam Mahfud MD.
Ia melihat kesan bahwa Polri ingin mematahkan rencana Mahfud MD sangat kentara.
"Apa ini bisa dikatakan sebagai antotesa rencana pembentukan tim pemburu korupsor khususnya Menko Polhukam ketika Djoker melenggang masuk Indonesia, apakah kerja kepolisian ini ingin mematahkan bahwa tim ini nggak perlu dibentuk," terang Suparji.
Djoko merupakan terpidana dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar.
Ia awalnya jadi tersangka dan terdakwa. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko.
Namun hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.
Baca Juga:
Disentil Polri Lewat Penangkapan Djoko Tjandra, KPK Makin Nafsu Buru Harun Masiku
Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA menerima PK yang diajukan jaksa.
Majelis hakim memvonis Djoko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta.
Uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekalnya yang sudah berstatus terpidana.
Djoko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Djoko sebagai buronan.
Belakangan, ia diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga diciduk di Malaysia. (Knu)
Baca Juga: