PASUKAN Sekutu, Brigade ke-49, pimpinan Brigadir Mallaby, tiba di Surabaya berpredikat sebagai pemenang Perang Dunia II. Di udara, pesawat tempur Angkatan Udara Inggris selain canggih juga menang pengalaman. Sementara, di darat, 6.000 pasukan siap melumat musuh.
Baca juga: Panser Polisi Istimewa Bikin Repot Pertahanan Sekutu
Di sisi lain, para pejuang Surabaya terdiri dari beragam organ, mulai tentara terlatih, laskar, dan relawan pejuang.
Seluruh badan perjuanga, seperti BKR, TKR, Pemuda Rakyat Indonesia (PRI), Barisan Hizbullah, API, BPRI, BKR Pelajar, PTKR, Perisai, PAL, MKL, TRIP, Pasukan L, TGP, AMS, PRI Maluku, PRI Kalimantan, dan pasukan polisi istimewa berkonsidasi. Meski begitu, banyak di antara para pejuang cuma modal berani, malah beberapa di antaranya tak bisa menggunakan senjata.

Setelah Sekutu memberi ultimatum lewat sebaran pamflet dari udara, Arek Surabaya justru semakin berlipat semangatnya. Tembak-menembak pertama, menurut Barlan Setiadijaya pada 10 November 1945, Gelora Kepahlawanan Indonesia, terjadi ketika kepulangan para anggota PRI Sulawesi (Perisai) seusai rapat konsolidasi menyenggol barikade Sekutu di muka Rumah Sakit Darmo.
Baca juga: Perwira Inggris Kaget Arek-arek Suroboyo Bertempur Tak Takut Mati Seperti Orang Mabuk
“Tembak-menembak ini merembet ke seluruh kota di Kayoon, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, dan Bentengmiring di Ujung,” tulis Barlan Setiadijaya pada 10 November 1945, Gelora Kepahlawanan Indonesia.
Pejuang-pejuang Surabaya mengandalkan jenis senapan karaben Arisaka standar tentara Jepang, lalu pistol berkaliber 6,5 dan 7,7, serta senapan mesin ringan jenis Keiki Kanju kaliber 6,5. Mereka mendapatkan senjata itu dari rampasan gudang senjata milik tentara Jepang.

Tak hanya senjata Jepang, dari gudang tentara Dai Nipon tersebut para pejuang juga beroleh senjata sitaan tentara Belanda, Inggris, dan Australia, seperti karaben jenis Steyer, Exthone, Lee & Field, dan Johnson. “Semua jatuh ke tangan pejuang nan sebenarnya sama sekali belum menguasai peralatan itu,” kata Ruslan Abdulgani pada Kebangkitan Jiwa Keprajuritan Nasional.

Abdulgani ingat betul kejadian konyol para laskar saat berhadapan dengan pasukan Sekutu. Ketika mereka mendekat ke kantor Polisi Rahasia Jepang (Kempetai) di Jalan Gunung Sahari, Surabaya, sementara pihak dari luar berteriak mengomandoi serangan. "Maju! Tembak!".
“Tetapi, tidak ada orang menembak, bahkan tank itu akhirnya mundur lagi. Alasannya, peluru dibawa keliru,” kata Ruslan. (*)
Baca juga: Bung Tomo-Sulistina Cinta Bersemi di Pertempuran Surabaya