Tanggapan Pakar Hukum Pidana soal Pasal Penghinaan Presiden Masuk RUU KUHP

Andika PratamaAndika Pratama - Rabu, 09 Juni 2021
Tanggapan Pakar Hukum Pidana soal Pasal Penghinaan Presiden Masuk RUU KUHP
Presiden Jokowi. (Foto: Antara/Biro Pers Setpres)

MerahPutih.com - Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad menanggapi pasal penghinaan presiden yang dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Suparji mengatakan bahwa pasal tersebut harus jelas, tidak 'abu-abu', tidak multitafsir dan memenuhi prinisp lex scripta, lex certa, lex stricta dan lex praevia.

Baca Juga

Tak Hadirnya Firli Cs Dinilai Bentuk Arogansi dan Penghinaan Terhadap Ketatanegaraan

Menurut Suparji, lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis. Kemudian lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas.

Lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi, dan lex Praevia yang aritnya hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.

"Rumusan pasal dalam hukum harus jelas dan tegas, tidak boleh ada yang bias atau multitafsir yang justru akan memunculkan masalah baru," kata Suparji dalam keterangan persnya kepada wartawan, Rabu (9/6).

Suparji juga sependapat jika penghinaan presiden menjadi delik aduan absolut. Ia menegaskan bahwa jika menjadi delik umum, maka rawan terjadi penafsiran hukum yang cenderung subjektif.

Suparji Ahmad

Kalau delik aduan artinya penghinaan harus dilaporkan oleh presiden sendiri atau pihak yang mendapat kuasa dari Presiden.

"Simpatisan atau pendukung tidak bisa secara serta merta melaporkan jika ada dugaan penghinaan presiden, tetapi harus mendapat kuasa dari Presiden," ulasnya.

Norma yang dirumuskan harus diatur secara jelas dan detail tentang teknis pengaduan Selain itu, juga harus bisa dibedakan mana ujaran kebencian, mana yang kritik, mana membela diri atau mana yang untuk kepentingan umum.

Jangan sampai ada pengaduan warga Negara hanya karena perbedaan pendapat. "Pemahaman filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap apa itu penghinaan, hate speech dan kritik sangat diperlukan," ujarnya.

Untuk itu, harus diperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, yang pada pokoknya membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP.

Kepada masyarakat, Suparji berpesan agar memberikan kritik yang membangun dan tidak menggunakan ujaran kebencian.

"Sampaikan kritik secara rasional, konstruktif, dengan elegan dan data yang jelas. Bukan hanya dengan emosional, maki-maki atau penghinaan," pungkasnya. (Knu)

Baca Juga

Novel Baswedan: Stigma Pegawai KPK Tak Bisa Dibina Bentuk Penghinaan

#Pasal Penghinaan Presiden
Bagikan
Bagikan