KETIKA family gathering plesiran ke pantai, tetiba ada sejumlah anggota keluarga seumuran yang nyeletuk 'bete nih kita main bola yuk', lantas saja anggota keluarga besar yang masih terbilang anak muda menyahut 'yuk' main. Biasanya sesudah itu, mereka pete-pete alias patungan untuk membeli bola plastik yang dijual di warung atau toko terdekat.
Baca Juga:
Setelah bola plastik dibeli, biasanya tim langsung dibagi dengan cara 'gambreng'. Jumlahnya biasanya tak terlalu banyak, sekitar lima lawan lima.

Pertanyaanya bagaimana bermain sepak bola bola dipantai sementara tidak ada gawangnya? Hal itu bukan menjadi soal bagi anak-anak generasi 90-an atau sebelumnya, karena mereka punya banyak cara untuk bisa bermain, salah satunya dengan menjadikan sandal sebagai gawang.
Tak ada sepatu bola? Bukan juga merupakan masalah, karena di Negeri Aing, nyeker pun jadi untuk bermain sepak bola. Justru banyak orang yang suka nyeker dengan harapan tendangan lebih kuat dan lari bisa lebih cepat.
Eits, tapi ingat, bola yang digunakan bola pelastik yah, bukan bola yang digunakan oleh pesepakbola profesional. Jadi ya, masih aman lah kaki.
Satu hal yang unik lagi, bagi penjaga gawang, memiliki sebuah sarung tangan dadakan. Namun sarung tangan yang dimaksud bukanlah sarung tangan kiper sungguhan, melainkan sandal yang dipakai di tangan untuk menepis bola agar tangan tidak sakit.
Momen-momen seperti itu, tak hanya dilakukan saat berlibur bersama saudara, tapi juga dilakukan saat di sekolah, dan di komplek perumahan.
Baca Juga:
Pelesir ala Orang Indonesia, Selalu Bawa Comfort Food
Kebersamaan bermain bola tanpa alas kaki, bola plastik, gawang dari sandal, sarung tangan dari sandal sangat memorable. Generasi 90-an dan sebelumnya pasti sangat merindukan hal tersebut.
Salah satu orang yang teringat momen tersebut ialah, Fahmi, anak generasi 90-an yang sangat rindu dengan masa-masa tersebut.
"Main bola plastik terus gawang dari sandal sih asik banget, tepatnya pas gue kelas 6 sd, tiap jam olahraga, jam istirahat dan sepulang sekolah, gue pasti main bola," tutur Fahmi.

Pada masa-masa sering bermain bola plastik ketika duduk di sekolah dasar. Fahmi tak menampik jika dia kerap di marahi oleh orang tua, soal dampak dari bermain bola.
"Karena sering main bola, gue inget suka diomenlin ortu, dari mulai baju sobek lah gara-gara jatoh, kaki atau tangan luka-luka, sampai pulang telat karena abis sparing dengan sekolah laen pas pulang sekolah," tambahnya.
Namun meski kerap dimarahi orangtuanya, Fahmi tetap menjalani hobinya tersebut. Karena baginya olahraga merupakan sesuatu yang positif.
"Gue sih dimarahin udah kebal, yah namanya juga anak laki, yang penting gue ga aneh-aneh, cuma main bola aja kok," kata dia.
Melihat keseruan masa-masa bermain sepak bola dengan gawang sendal dan bola plastik, tampaknya sangat berbeda dengan masa kini. Dimana banyak anak-anak muda yang pergi ke coffee shop lalu 'tertunduk' di depan layar ponsel untuk main bareng (Mabar) game online.
Namun, kita tak bisa menyalahkan keadaan, di mana terpaan digital sudah merubah kebiasaan banyak orang. Kendati demikian, sejarah dan kenangan masa-masa indah tentunya tidak akan terlupakan. Setiap orang pasti ada masanya, dan setiap masa pasti ada orangnya. (Ryn)
Baca Juga:
Kerokan, Solusi Mujarab 'Masuk Angin' Orang Indonesia Sehabis Pelesiran