DJADUK tak pernah bisa tidur tiap jelang gelaran Ngayogjazz. Ia punya pekerjaan rumah besar, memastikan agar masyarakat desa tempat pagelaran jazz itu dilaksanakan bisa menerima. "Ini butuh metode tersendiri dan benar-benar makan energi agar (mereka) menerima kegiatan kami. Sebelum saya yakin semuanya jelas, saya pasti enggak bisa tidur,” kata Djaduk di sela jumpa pers Ngayogjazz ke-9, dikutip Kompas (24/11/2015).
Ngayogjazz memang berbeda dari gelaran jazz pada umumnya karena berlangsung di desa-desa wilayah Yogyakarta. Sejak kali pertama hadir pada 2007, Ngayogjazz selalu mengajak masyarakat desa tempat berlangsungnya acara untuk terlibat aktif, mulai ikut serta sebagai penampil, terlibat di teknis acara, hingga berjualan di Pasar Jazz.
Baca juga:
Jazz atau musik, Jawa, dan Masyarakat Jawa seakan menjadi teropong khusus bagi Djaduk Ferianto. Tak hanya Ngayogjazz, ketiga hal itu juga tersua pada proses kreatif keseniannya.
Sedari usia enam tahun, Gregorius Djaduk Ferianto memilih tari sebagai pertemuan awal dengan dunia kesenian. Ia tersihir dunia kesenimanan ayahnya, maestro tari Bagong Kussudiardja di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Dari tari, Djaduk kemudian menjejak bunyi gending gamelan Jawa nan tak sekadar pengantar tariannya.
Ia lalu mengakrabi gamelan Jawa sebagai pemain gendang pada 1972. Pria kelahiran Yogyakarta, 19 Juli 1964, kemudian mengasah keterampilan dan pendalaman seni musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di sana, putra bungsu pasangan Bagong Kussudiardja dan Soetiana bereksplorasi dengan berbagai medan musik, instrumen, hingga sajian.
Hasil eksplorasi musiknya berbuah Juara I Nasional Musik Humor pada 1978 lewat grup Rheze. Tak puas, ia lantas membidani kelompok musik Wathathitha (1980-1983), dan mengemban tugas sebagai penata musik Teater Gandrik sejak 1985.
Dari panggung, Djaduk sempat menjajal ranah industri film dan sinetron menjadi penata musik bahkan bermain dalam film Petualangan Sherina berperan sebagai tokoh antagonis Kertarajasa. Pada 1995, ia menerima Piala Vidia Festival Sinetron Indonesia sebagai Penata Musik Terbaik. Masih di tahun itu, ia beroleh kehormatan didapuk sebagai pengarah musik pada peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, Kendari Nasional 50 Tahun Indonesia Merdeka.
Djaduk di masa sibuknya melakoni dunia panggung dan industri, masih bekreasi menelurkan kelompok musik kontemporer Kua Etnika pada 1996, dan setelahnya Orkes Keroncong Sinten Remen. Dua kelompok itu menjadi semacam laboratorium perpaduan beragam medan musik nan lumrah awam sebut "Timur" dan "Barat".
Meski nampak seperti anggapan awam soal "Timur-Barat" coba dicampurbaur, justru hasil akhir musiknya, menurut Komponis Suka Hardjana, Kompas, 13 April 1997, menisbikan lalu memberi jalan keluar atas dikotomi "Barat-Timur", tradisi-modern, kini-masa lalu, tribal-universal, nasional-internasional, provinsial-nasional, lokal-global, seni hiburan-seni serius dan seterusnya.
Banyak musikoloog bertengkar soal diferensi skala penalaan, perbedaan jangkauan suara, karakterologi bunyi, keseimbangan harmoni, soal inovasi, eksplorasi dan sebagainya, sementara Djaduk, lanjut Suka Hardjana, memberi jalan tengah terhadap dua rel panjang secara geometris seolah tak akan bersinggungan.
"Dengan kata lain, hal-hal primordial yang sifatnya baku, kaku dan tak berkutik itu, ia (Dajduk) nisbikan semua," tulis Suka Hardjana.
Menisbikan sekat musik itu terus dijalani Djaduk tiap tahun lewat Ngayogjazz. Ia bahkan lagi-lagi disibukan persiapan gelaran Ngayogjazz 2019. Di laman Instagram milknya @djaduk bahkan sekat itu kembali disajikan dengan menampilkan keyboardis Idang Rasjidi tanpa bermain keyboard. "Datanglah kalian akan dapatkan Vitamin batu tentang jazz dll-nya," tulisnya.
Hari ini, 13 November 2019, di tengah persiapan bahkan 3 hari jelang hajatannya, Djaduk Ferianto berpulang. Gelaran Ngayogjazz tahun ini akan menjadi karya pamungkasnya. Selamat jalan, Kang Djaduk! (*)