Mengenal Pejabat Kehakiman Masa Jawa Kuna

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Sabtu, 27 Januari 2018
Mengenal Pejabat Kehakiman Masa Jawa Kuna
Ilustrasi simbol keadilan. (Istimewa)

PETUGAS pengadilan tak hanya ada di tradisi peradilan modern saja. Di masa Jawa Kuna, sejak abad ke IX hingga XIV, para kerajaan-kerajaan di Jawa mengenal sistem peradilan dan para pejabat kehakimannya.

Unsur kerajaan di masa Jawa Kuna, seturut Prof Boechari, ahli epigrafi Arkeologi UI, pada tulisan bertajuk “Jayapattra, Sekelumit tentang Pelaksanaan Hukum dalam Masyarakat Jawa Kuno,” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, mengungkapkan terdiri dari tujuh unsur (saptangga), berupa raja, wilayah kerajaan, birokrasi, rakyat, perbendaharaan kerajaan, angkatan bersenjata, dan negara-negara tetangga. “Termasuk unsur birokrasi ialah administrasi kehakiman,” tulis Boechari.

Di dalam prasasti peninggalan kerajaan Singhasari dan Majapahit terdapat keterangan tentang petugas kehakiman. Mereka disebut sebagai sang pragwiwakawyawaharanyayanyayawicchedaka atau hakim bertugas membedakan antara hal benar dan tidak benardi dalam persengketaan, sang dharmadhikarananyayanyayawyawaharawicchedaka atau pemipin keagamaan nan mampu memutuskan persengketaan, dan sang dharmaprawaktawyawaharawicchedaka atau juru bicara keagamaan atau hukum bertugas memutus persengketaan.

Petugas kehakiman tersebut, lanjut Boechari, dapat dibedakan menjadi dua, pemimpin keagamaan atau ketua pengadilan dari golongan agama Siwa dan Buddha, dan dharmopapatti atau pejabat kehakiman.

Bukan sembarang orang bisa petugas keagamaan nan memiliki tugas memutus sengketa. Paling tidak, mereka harus sempurna pengetahuannya atas semua kitab sastra. Pertama, kitab Dharmasastra, Kutara Manawa, Sarasamuccaya, Canakya, Kamandaka dan lainnya. Termasuk tidak bingung ketika mencari pernyesuaian antara astadasawyawahara dan adat beserta ajarannya.

“Ia harus mampu memberi keputusan dalam pengadilan atas persengketaan yang terjadi antara rakyat di seluruh kerajaan,” tulis Boechari.

Pada sengketa utang-piutang antara Pu Tabwel dan Sang Dharma tersua pada prasasti Guntur berangka tahun 829 Saka, sang pejabat kehakiman memutus perkara dengan merunut kitab hukum perundangan.

Pu Tabwel, penduduk desa Guntur, dan istrinya, Pu Gallam dilaporkan Sang Dharma karena tidak bersedia melunasi utang. Pasangan suami-istri tersebut kemudian diperiksa Samgat Pinapan.

Dari pemeriksaan persengketaan, Pu Tabwel enggan membayar utang tersebut karena almarhum istrinya bernama Si Campa yang berhutang dan tanpa sepengetahuannya.

Dalam sidang diketuai Samgat Pinapan, justru si pelapor Sang Dharma tidak hadir. Perkaranya pun digugurkan. Selain itu pula, berdasarkan hukum nan berlaku, utang dibuat istri tanpa sepengetahuan suami tidak lagi menjadi tanggung jawab sang suami, terlebih kalau suami-istri tersebut tidak memiliki keturunan.

Dari salah satu perkara, terekam pada prasasti Guntur tersebut, diketahui dalam proses peradilan terdapat pihak bersengketa, pejabat hukum, dan saksi-saksi. Di masa Jawa Kuna, menurut Boechari, belum ada pembedaan antara tugas jaksa dan hakim.

“Dapat dilihat juga bahwa dalam beberapa persoalan, raja sendiri atau putra mahkota atau pejabat-pejabat tinggi sipil di pusat kerajaan bertindak sebagai hakim,” pungkas Boechari. (*)

#Kerajaan Majapahit #Penegakan Hukum
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan