Susu Kedelai tak Seharusnya Dilabeli Susu

Dwi AstariniDwi Astarini - Minggu, 22 Juli 2018
Susu Kedelai tak Seharusnya Dilabeli Susu

Badan POM Amerika Serikat merekomendasikan penamaan ulang untuk susu kedelai. (foto: pixabay/rawpixel)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

BARU-baru ini, Badan POM mengeluarkan rekomendasi bahwa susu kental manis seharusnya tidak diminum sebagai susu. Alasannya, kandungan lemak dan protein susu di dalamnya tidaklah memenuhi syarat susu.

Dalam proses pembuatannya, susu kental manis memang menggunakan lebih banyak campuran gula. Hampir 50% kandungan SKM ialah gula. Itulah mengapa susu kental manis sebaiknya tidak diminum langsung sebagai susu pada umumnya.

Kini, rekomendasi tersebut menerbitkan pertanyaan lain, bagaimana dengan produk yang disebut susu lainnya, seperti susu kedelai? Apakah produk tersebut layak disebut susu?

Sebagai rujukan, Badan Administrasi Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), pekan lalu, mengeluarkan rekomendasi bahwa susu kedelai atau susu almond yang banyak dijual di pasaran seharusnya tidak disebut susu. Seperti dikutip dari CNN, rekomendasi itu berawal dari pertanyaan yang diajukan komisioner FDA Dr Scott Gottlieb di ajang Politico Pro Summit. Gottlieb mempertanyakan apakah standar identitas produk susu sudah diterapkan dengan benar.

FDA mendefinisikan nama produk susu sebagai cairan laktasi, sebagiannya bebas dari kolostrum, yang didapat dengan memerah seekor atau beberapa ekor sapi sehat. Definisi tersebut jelas tidak memberikan ruang bagi produk vegetarian yang berlabel 'susu', padahal banyak susu vegetarian beredar di pasaran.

Dalam definisi FDA, susu adalah produk laktasi dari sapi. (foto: pixabay/masimbatinashemadondo)

Produk susu berbasis tanaman, seperti susu kedelai, almond, beras, dan kelapa sebenarnya merupakan sari yang didapat dari kacang-kacangan, biji, gandum, atau sayuran yang kemudian ditambahkan sejumlah vitamin dan mineral. Tujuannya, memberikan nutrisi yang sama, bahkan agar terasa dan punya kekentalan yang sama dengan susu sapi.

Dengan tampilan dan tambahan vitamin serta mineral itulah yang membuat produk susu berbasis tanaman kerap dijadikan substitusi untuk susu sapi. Meskipun demikian, Vandana Sheth, ahli nutrisi besertifikat yang juga juru bicara Academy of Nutrition and Dietetics mengatakan produk susu berbasis tanaman tidak mampu sepenuhnya menyamai nutrisi yang terkandung dalam susu sapi. Susu yang terbuat dari beras, kelapa, dan almond mengandung protein yang rendah ketimbang susu sapi. "Jika tidak diperkuat dengan tambahan vitamin, kamu mungkin tidak mendapat kalsium, vitamin D dan B12 dari produk tersebut," ujar Sheth.

Produk berbasis tanaman harus dilabeli dengan tepat. (foto: pixabay/couleur)

Dalam menyikapi makin menjamurnya produk 'imitasi susu berbasis tanaman', FDA bekerja lebih keras untuk menelaahnya. Wakil Presiden Senior Komunikasi FDA Chris Galen mengungkapkan produk 'susu imitasi' tersbeut bahkan kini tersedia dalam berbagai varian bahan baku, mulai dari flax, quinoa, hingga kentang. Meskipun dalam definisi susu yang ditetapkan FDA menyebut sapi sebagai sumbernya, Galen mengatakan standar federal AS membolehkan susu didapat dari binatang lain, tapi bukan tanaman.

Meskipun demikian, produsen produk 'imitasi susu' lebih memilih menamai produk mereka dengan label 'susu'. "Ini masuk akal, mengingat 'susu' terdengar jauh lebih menarik ketimbang 'sari kacang'," ujar Galen. Dari situlah pokok perdebatan muncul. Para produsen berkukuh produk label susu untuk 'sari kacang' yang berikan sudah tepat.

Di sisi lain, FDA berkukuh bahwa pemberian label yang tepat pada produk susu amatlah penting. Hal itu mengingat konsumen harus tahu apa yang mereka beli. "Kami bukannya ingin mengatakan produk 'susu imitasi' berbasis tanaman ini tidak punya peluang di pasar. Namun, produk yang dijual haruslah diberi label sesuai kandungan di dalamnya," ujar Galen. Argumen itu ia lontarkan mengingat pentingnya konsumen mengetahui produk yang mereka beli berikut kandungannya. Hal itu menurutnya amatlah penting karena amat terkait dengan aturan diet atau larangan terkait keagamaan atau ideologi.(dwi)

Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.
Bagikan