Kesehatan Mental

Memahami Panic Buying Susu Beruang

Iftinavia PradinantiaIftinavia Pradinantia - Senin, 05 Juli 2021
Memahami Panic Buying Susu Beruang
Susu Beruang diburu hingga terjadi panic buying. (foto: Twitter @@Muhamma99789445)
SEJUMLAH orang berlomba mencapai ujung lorong di sebuah pusat perbelanjaan. Tujuan mereka satu: tumpukan susu Bear Brand atau yang lebih dikenal dengan nama Susu Beruang. Begitu tangan menyentuh barang itu, dengan sigap mereka mengambil dalam jumlah banyak. Berebut. Saling sikut. Tak pelak, aksi itu menjadi ricuh. Kaleng-kaleng susu berserakan, kereta barang jatuh ditabrak pembeli lain yang juga bernafsu memborong.
Itulah adegan yang terlihat dalam sebuah video yang belakangan viral di media sosial. Sejak merebak kabar Susu Beruang ampuh usir virus corona, susu kaleng dengan gambar beruang itu jadi buruan warga Indonesia. Tak sekadar ingin mendapatkan satu atau dua kaleng, tapi membeli dalam jumlah banyak. Semakin banyak semakin baik.
Fenomena panic buying seperti hal itu biasanya disebabkan ketakutan akan kehabisan persediaan. Rasa takut itu dipicu emosi dan pengaruh sosial. Membeli dalam jumlah banyak memberi orang rasa kendali atas situasi. Meski demikian, panic buying bukan hal bijak dilakukan di saat krisis. Hal itu bisa menimbulkan efek negatif, seperti gangguan rantai pasokan hingga kehabisan stok dan kenaikan harga.
BACA JUGA:
Jika sudah demikian, panic buying amat mungkin akan membatasi atau mencegah kelompok yang paling rentan, seperti orang tua dan individu berpenghasilan rendah, untuk mengakses produk tertentu. Pembelian dalam kondisi panik juga dapat memperburuk ketakutan dan ketidakpastian tentang bencana atau krisis, nyata atau yang dirasakan. Masih ingat kan, bagaimana negara-negara lain mengalami krisis tisu ketika awal pandemi menyebar?
Pertanyaannya, mengapa orang mengalami demam belanja ini selama krisis?
Menurut jurnal ilmiah dari McMaster Optimal Aging Portal, panic buying dipengaruhi empat hal, yakni persepsi tentang ancaman krisis kesehatan dan kelangkaan produk, faktor psikososial, fear of unknown, dan perilaku meniru.

1. Persepsi akan Ancaman Krisis Kesehatan dan Kelangkaan Produk

kelangkaan produk
Masyarakat takut akan kelangkaan produk (Sumber: Pexels/Pixabay)
Dalam kasus COVID-19, semakin banyak orang merasa bahwa mereka berisiko terkena penyakit ini, semakin mereka ingin melindungi diri mereka sendiri. Semakin mereka ingin melindungi diri, semakin mereka akan membeli kebutuhan dasar atau obat-obatan.
Di sisi lain, ketika mereka melihat rak kosong atau antrean di toko, mereka akan semakin termotivasi untuk segera membelinya.

2. Faktor psikososial

psikososial
Psikososial yang terjadi di masa pandemi (Sumber: Pexels/anna shvets)
Panic buying adalah perilaku massal atau perilaku komunal. Misinformasi dan penyebaran rumor (misalnya, kabar susu tertentu dapat meningkatkan imun dan menangkal virus COVID-19) dapat memengaruhi orang untuk membeli dalam jumlah besar. Kurangnya informasi juga dapat menyebabkan mereka meniru mayoritas yang membeli dengan panik.
Selain itu, tingkat ketidakpercayaan sosial yang tinggi terhadap masyarakat atau otoritas pemerintah dapat menyebabkan beberapa orang bereaksi dan mengarah pada pembelian panik.

3. Takut akan hal yang tidak diketahui

kelangkaan
Ketakutan (Sumber: Pexels/Samir Daboul)
Secara umum, orang mengalami tekanan emosional seperti ketidakpastian, ketakutan dan kecemasan selama krisis kesehatan. Sangat sering, kita menemukan bahwa rasa takut memotivasi orang untuk melakukan pembelian karena memberi mereka perasaan aman, nyaman, atau pelarian sesaat, yang membantu mengurangi stres.

4. Perilaku meniru

Panic buying
Perilaku panic buying menular (Sumber: Pexels/oleg magni)
Perilaku membeli barang konsumsi dalam jumlah besar tidak sesuai dengan situasi pandemi. Perilaku itu tidak membantu atau bahkan dapat memperburuk kekurangan produk. Kendati demikian, hal itu memberi individu rasa kontrol tidak langsung atas situasi tersebut.
Sebagai individu, kita dapat mempersiapkan diri untuk situasi yang berbeda. Berbagai upaya sederhana bisa membuat kita bisa membantu pengendalian panic buying ini. Misalnya, mengirim pesan yang menyoroti konsekuensi negatif dari panic buying dan membujuk orang untuk membeli secara wajar dan bertanggung jawab, meluruskan dengan cepat jika ada informasi yang salah, serta melakukan pembelanjaan secara online untuk menghindari antrean yang panjang. Ketahanan sebuah komunitas dalam menghadapi kesulitan mungkin bergantung pada bagaimana individu, otoritas pemerintah, bisnis, dan aktor lain dalam masyarakat sipil berperilaku.(Avia)

#Kesehatan Mental #Susu #COVID-19 #Satgas COVID-19
Bagikan
Ditulis Oleh

Iftinavia Pradinantia

I am the master of my fate and the captain of my soul
Bagikan