Supersemar, Alat Kudeta Halus Soeharto terhadap Sukarno?

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Jumat, 11 Maret 2016
Supersemar, Alat Kudeta Halus Soeharto terhadap Sukarno?
Supersemar (Foto: ANRI)

MerahPutih Peristiwa - Hari ini Jumat, (11/3) tepat 50 tahun peringatan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Sejak dikeluarkan tanggal 11 Maret 1966, keberadaan Supersemar yang asli masih menjadi misteri terbesar dalam sejarah Indonesia.

Selain dari keberadaan dari naskah asli Supersemar, kontroversi lain lahir darinya yaitu cara Supersemar itu didapatkan. Supersemar dipandang desakan terhadap Presiden Sukarno untuk berikan kekuasaan lebih kepada Soeharto. Selain itu, interprestasi Soeharto terhadap Supersemar sehingga membuatnya melakukan aksi-aksi di luar kendali Presiden Sukarno.

Pada 11 Maret 1966,  MC Ricklefs menyebut, permainan manuver halus antara Sukarno dan Soeharto-yang menghasilkan kekerasan berdarah di Ibu Kota-berakhir dengan meyakinkan untuk kemenangan Soeharto.

"Dengan kekuasaan Supersemar yang diperolehnya, Soeharto dan para pendukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tapi tak mampu berbuat apa-apa," demikian MC Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.

Supersemar yang tersimpan di etalase arsip negara ada tiga versi. Itu yang membuat kontroversi terkait Supersemar dan menimbulkan pertanyaan keberadaan naskah asli. Versi itu menyebut surat dari Presiden Soekano untuk menunjuk Soeharto memulihkan ketertiban dan keamanan (tidak lebih dari itu), kedua menunjuk Soeharto untuk membubarkan PKI dan membersihkan sisa-sisanya, ketiga bahwa surat tersebut untuk mengalihan kekuasaan.

Ricklefs menyebut setelah Supersemar itu diterima Jenderal Soeharto, tanggal 12 Maret, PKI dan organisasi masa dilarang. Kemudian tanggal 18 Maret, Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri kabinet lainnya ditahan. Soeharto membersihkan sisa-sisa demokrasi terpimpin dan membuatnya semakin kuat.

Sekira 180 anggota MPRS berkurang akibat penahanan. Dalam situasi seperti itu, sentimen anti-Sukarno meninggkat di kalangan anggota MPRS. Soeharto kemudian mengundang MPRS untuk bersidang pada Juni-Juli 1966. MPRS meratifikasi Supersemar, melarang PKI, mengharamkan Marxisme sebagai doktrin politik, menuntut pemilu diadakan pada 1968, dan mendesak Sukarno beri penjelasan tetnagn pelanggaran susila, korupsi, dan mismanajemen ekonomi yang dilakukan pemerintahan demokrasi terpimpin dan tentang peran Sukarno sendiri dalam usaha kudeta pada 1965.

"Gelar 'Presiden Seumur Hidup' yang dianugerahkan MPRS pada bulan Mei 1963 ditanggalkan. Sukarno juga dilarang untuk mengeluarkan keputusan presiden," demikian Ricklefs.

Soeharto kemudian menunjuk anggota baru parleman yang kosong akibat penahanan. Soeharto kemudian mendesak agar dilangsungkan sidang pada Maret 1967.

Suharto memiliki kekuatan sangat besar, yaitu dengan bertambannya sentimen terhadap Presiden Sukarno, penyingkiran terhadap para pendukung Sukarno dalam pemerintahan dan MPRS. Sementara itu, Presiden Sukarno semakin lemah. Tawaran dari sebagian angkatan bersenjata untuk melakukan perlawanan ditolak oleh Presiden Sukarno. Sukarno menghindari perang saudara.

Pada 12 Maret MPRS menanggalkan semua kekuasan dan gelar Sukarno serta mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Saat itu, Presiden pertama Indonesia secara de facto pensiun dengan status tahanan rumah dan diisolasi di Istana Bogor. Sukarno tetap berada di sana hinggga wafatnya pada bulan Juni 1970.


BACA JUGA:

  1. Cari Naskah Asli Supersemar, Sejarahwan: Coba Geledah Jalan Cendana
  2. Kabut Misteri Surat Perintah Sebelas Maret
  3. Titiek Soeharto Berbicara tentang 50 Tahun G30S/PKI
  4. Titiek Soeharto Raih Award 'The Strong Woman Who Humble'
  5. Diwajibkan Bayar Rp4,4 Triliun, Yayasan Supersemar Bungkam

 

#Supersemar #MC Ricklefs #Sejarah Indonesia
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan