PRESIDEN Suharto akhirnya turun dari takhtanya pada tanggal 21 Mei 1998. Dia memimpin rakyat Indonesia selama 32 tahun. Hari itu Presiden Suharto menyatakan berhenti dari jabatannya melalui pidato yang disampaikan di Istana Negara.
Pada hari yang sama, B. J. Habibie langsung disumpah menjadi presiden menggantikan Suharto. Mundurnya Suharto bukan terjadi tiba-tiba. Ada berbagai konflik yang akhirnya memicu kemarahan masyarakat sehingga terbentuk gerakan reformasi yang diperingati setiap tanggal 21 Mei sebagai pengingat tumbangnya rezim Orde Baru.
Baca Juga:

Sebenarnya rakyat Indonesia hanya menginginkan pemerintahan yang adil sesuai dengan janjinya bahwa dari rakyat kembali untuk rakyat. Tetapi selama Orde Baru, aspirasi rakyat bagaikan angin sore yang lewat begitu saja. Ibarat masuk telinga kanan keluar kiri, suara rakyat dibungkam oleh pemerintahan yang otoriter dan keras. Orang-orang yang dengan lantang menyampaikan kritiknya akhirnya dibungkam dengan ancaman atau bahkan hilang tanpa jejak hingga hari ini.
Rakyat sudah sejak lama geram terhadap pemerintah terutama kepada pemimpinnya yaitu Presiden Suharto. Sebut saja penculikan para aktivis, krisis moneter yang tak kunjung usai, tragedi penembakan mahasiswa Trisakti, sampai kerusuhan Mei 98 yang mendorong mahasiswa untuk melakukan demo besar-besaran dan menduduki gedung DPR/MPR.
Tak berhenti di situ, demonstrasi menuntut reformasi juga dilakukan di beberapa wilayah lain seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Medan. Demo besar-besaran ini akhirnya semakin pecah ketika terjadi penjarahan dan pembakaran area publik hingga memakan banyak korban jiwa. Nahas, kerusuhan massal yang semakin meledak malah mengarah ke sentimen rasial kepada warga keturunan Cina yang dibantai habis-habisan. Kerusuhan berhasil diredam setelah pengamanan ketat oleh TNI di beberapa titik rawan dan pengunduran resmi Suharto dari jabatannya. (Mar)
Baca Juga: