SEJAK era kepemimpinan Deng Xiaoping, Tiongkok mengalami keterbukaan terhadap dunia internasional. Tentu saja momen itu langsung disambut Amerika Serikat (AS), sebagai pemimpin dari blok barat dalam membangun hubungan diplomatik resmi dengan Beijing pada 1979. Melalui prinsip politik Satu Tiongkok, AS mengakui secara de jure Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah satu-satunya negara Tiongkok yang berdaulat, sehingga Taiwan harus menjadi bagian dari provinsi Tiongkok.
Namun, AS secara de facto tidak benar-benar menyetujui posisi Taiwan tunduk terhadap negara komunis. Terbukti, dari sikap AS ketika terlibat di dalam permasalahan Selat Taiwan yang pertama berlangsung 1954-1955. Sejak saat itu sampai hari ini, AS dengan tegas akan mendukung Taiwan secara militer jika Tiongkok berani menyerang Taiwan. AS berdalih dengan alasan untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di Selat Taiwan. Sikap AS yang mendua itulah yang disebut sebagai 'Strategi Ambiguitas'.
Baca Juga:
Perihal Taiwan, Indonesia Dorong AS dan Tiongkok Kurangi Ketegangan
Hanya saja, sekarang ini strategi ambiguitas AS terlihat kian sekarat. Ini ditandai dengan ketegangan di Selat Taiwan yang kembali meningkat pertengahan 2022. Pemicu awalnya memang berasal dari AS sendiri. Ketua House of Representaives AS, Nancy Pelosi, melakukan kunjungan singkat ke Taiwan pada awal. Kunjungan ini bisa dikatakan luar biasa karena kunjungan resmi pertama AS ke Taiwan sejak 25 tahun.
Pelosi menyambangi Taiwan dalam rangkaian lawatan ke negara-negara Asia, seperti Singapura, Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang. Menariknya, Taiwan awalnya tidak masuk dalam daftar resmi negara kunjungan Pelosi. Aksi itu memicu amarah Beijing dengan mengeluarkan larangan keras Pelosi memasuki seluruh wilayah Tiongkok, termasuk Taiwan. Bahkan, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Zhao Lijian, mengultimatum agar AS tidak bermain dengan api.
Peringatan keras pemerintah Beijing ternyata tidak didengar Pelosi dan rombongannya. Akibatnya, Xi Jinping, selaku pemimpin Tiongkok, merasa tersinggung dan memutuskan menggelar latihan militer besar-besaran di Selat Taiwan selama lima hari. Banyak sekali pesawat dan kapal melakukan manuver di sana, termasukjet tempur mematikan seperti Shukoi SU-30, Shenyang J-16, dan Chendu J-10.

Reaksi Beijing juga menyinggung Tokyo dan Seoul, karena latihan militer berlangsung di dekat kawasan kedua negara. Bahkan, Kementerian Pertahanan Jepang merilis kecaman kepada Beijing, karena militer Tiongkok berani masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Jepang dan bermanuver di dekat pulau sengketa di Kepulauan Senkaku.
Ambiguitas AS menjadi semakin sekarat ketika Presiden Tiongkok Xi Jinping menunjukkan ketidaksabarannya terhadap tindakan AS yang begitu pro terhadap Taiwan. Di dalam pidato di Kongres Partai Komunis yang dihelat Oktober lalu, Xi Jinping mengutuk kekuatan eksternal yang ikut campur di dalam permasalahan Taiwan. Tiongkok menegaskan perjuangan besar melawan separatisme dan campur tangan di Taiwan, serta membuka opsi kekerasan tidak bisa tidak dijalankan untuk membawa kembali Taiwan ke dalam pangkuan Beijing.
Tiongkok mulai “mendidih” akibat tindakan AS yang tidak lagi menghormati prinsip politik Satu Tiongkok. Apalagi, Pemerintah Taipei mulai berani membela diri. Mereka memperingatkan militer Tiongkok agar tidak masuk ke dalam wilayahnya sejauh 12 mil. Terlebih pada 1 September, militer Taiwan untuk pertama kalinya berani menembak pesawat tanpa awak milik Tiongkok yang melintasi wilayahnya. Meskipun Tiongkok terlihat sangat geram, AS dan Taiwan tetap menunjukkan hubungan yang mesra.

Akibat prinsip politik Satu Tiongkok, keanggotaan Taiwan harus dicoret di PBB pada 1971, tetapi AS mulai mengajak kembali Taiwan untuk aktif ke dalam organisasi internasional pada 2021, antara lain di WHO dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim. Lebih jauh lagi, Washington menyetujui rencana penjualan senjata senilai USD 1,1 miliar ke Taiwan pada September 2022. Pentagon mengungkapkan kerja sama persenjataan mencakup 60 rudal anti-kapal, 100 rudal udara ke udara, dan dukungan logistik kontraktor program radar pengawasan.
Tak hanya itu, Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS juga baru saja mengesahkan RUU Kebijakan Taiwan 2022 (Taiwan Policy Act of 2022) pada pertengahan September. Di sini AS secara terang-terangan menaikkan biaya alutsista Taiwan. Artinya, AS memang terkesan sengaja membiarkan strategi ambiguitasnya kian sekarat.
Partai Komunis Tiongkok merespons dengan mengultimatum AS telah melanggar prinsip politik Satu Tiongkok dan ikut campur terlalu jauh urusan dalam negeri Tiongkok. Tak heran, kembali muncul sinyal peringatan dari Beijing kepada AS, Taiwan, dan sekutunya agar berhati-hati jika perang terbuka meletus di Selat Taiwan. Jika perang benar terjadi, maka stabilitas dunia dalam berbagai bidang akan terganggu, terutama ekonomi dan keamanan. Apalagi di belahan bumi yang lain perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung selama hampir setahun ini.
Baca Juga:
Tiongkok Peringatkan AS untuk Tidak Ikut Campur Urusan Taiwan
Situasi global yang memicu kewaspadaan Indonesia, harus selalu memantau perkembangan kondisi Selat Taiwan karena letak geografisnya sangat dekat dengan Indonesia. Jika perang meletus, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang merasakan dampak kerugian. Pertama, AS dan Tiongkok adalah dua negara raksasa ekonomi di dunia yang memiliki kerja sama erat dengan Indonesia. Keduanya bisa mengganggu perdagangan internasional sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tersendat.
Kedua, Tiongkok dan sekutu AS, Jepang, sama-sama sedang membangun senjata nuklir di wilayah Pasifik. Jika senjata nuklir digunakan dalam perang, maka akan sangat mematikan bagi peradaban manusia. Sekarang bukan lagi menuding siapa yang salah dan siapa yang harus dibela. Satu hal yang bisa dilakukan adalah memperjuangkan kemanusiaan. Jangan sampai keegoisan dari kedua negara adidaya itu membuat umat manusia menderita. (*)
*Penulis: Abdul Rahman, Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara
Disclaimer: Tulisan merupakan opini pribadi penulis, bukan menyuarakan sikap redaksi MerahPutih.com
Baca Juga:
Xi Jinping Hubungi Biden Lagi