Spoor Gunakan Strategi Operasi Gagak, Soedirman Terapkan Perang Gerilya Semesta

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Senin, 12 Februari 2018
Spoor Gunakan Strategi Operasi Gagak, Soedirman Terapkan Perang Gerilya Semesta
Pak Dirman sedang ditandu saat melancarkan strategi perang gerilya

KASMIRAN, seorang perwira senior TNI Angkatan Udara, lompat dari tempat tidurnya ketika mendengar dentuman begitu keras. Dia langsung keluar gedung tempatnya bermalam di area lapangan udara Maguwo, Yogyakarta.

Belum sempat mendapati sumber suara, di atas langit biru padam, sekira pukul pukul 05.15, matanya kontan terbelalak mendapati pesawat Mitchells Belanda meraung bermanuver rendah.

Tanpa babibu, meski masih setengah sadar, Kasmiran membangunkan beberapa orag kadet dan memerintahkan untuk segera mempersiapkan senapan mesin.

Sesaat raungan Mitchells memudar lalu hilang, tapi berganti dua pesawat bombardemen, Dakota dan Mustang bermoncong merah memuntahkan bom-bom beriringan, pada 19 Desember 1948. “Puluhan orang taruna Angkatan Udara gugur dalam mempertahankan lapangan Maguwo,” kenang Kasmiran sebagaimana nukilan Pierre Heijboer pada De Politieonele Acties De Strijd om Indie 1945-1949. Dia dan beberapa anggota berhasil keluar dari arena pemboman.

Di atas langit Maguwo, seusai menghujani bom, lambung Dakota mengambulkan pasukan para Belanda Korps Speciale Troepen (KST) secara bergantian, disusul pasukan Brigade T. Mereka lantas mengonsolidasikan pasukan dan menjadikan Maguwo sebagai basis pertahanan.

Serangan mendadak tentara Belanda belum berakhir. Jenderal Simon Hendrik Spoor telah merancang sebuah aksi militer serbuan menusuk jantung kota Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia (1946-1950).

Operasi Gagak Jenderal Spoor

Usai Maguwo dikuasai, pesawat pemburu melesat menarget objek-objek vital kota Yogyakarta, seperti jalan raya, jembatan, hingga bangunan militer.

Sementara di darat, dua arus besar pasukan Belanda merangsek jantung kota Yogyakarta. Satu kekuatan besar pasukan KST di Maguwo berpencar melalui dua jalur, Solo dan Wonosari, sedangkan Brigade 1-15 masuk dari arah utara.

Tercatat jumlah pasukan Belanda di Yogyakarta selama Agresi Militer II, seturut HL Lywitzer pada Documenter betrefende de eerste Politionele actie, sebanyak 138.000 serdadu pasukan Darat, Laut, dan Udara.

Jelang tengah hari, pasukan Belanda dari arah utara berhasil mendekati Gedung Agung. Mereka menembaki tempat para pemimpin RI berkantor. Komandan Brigade T, van Langen, lantas berhasil menawan Sukarno-Hatta dan beberapa menteri.

Strategi Jenderal Spoor dengan kata sandi “KRAAI Operation” atau “Operasi Gagak”, meski sempat mendapat serangan kecil di beberapa tempat, berhasil menguasai kota Yogyakarta.

Kehebatan strategi Spoor, menurut Nolly sapaan akrab Kapten Tjokropranolo, salah seorang pengawal Jenderal Soedirman, pada Panglima Jenderal TNI Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, selain karena persenjataan sangat canggih, juga lantaran serangan begitu mendadak dengan sistem doorstoot atau serbuan menusuk kota Yogya.

Dengan tergesa-gesa, pasukan Belanda lantas mengabarkan penahanan para pemimpin RI melalui siaran radio dan pamflet-pamflet dari pesawat udara, berisi “Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta serta pejabat-pejabat tinggi lainnya, terutama Jenderal Soedirman sudah berhasil ditawan”.

Benarkan Jenderal Soedirman, Pemimpin Besar TNI, telah ditawan pasukan Belanda?

Strategi Perang Gerilya Semesta

Kabar penahan Soedirman ternyata hoax belaka. Siaran RRI sempat menepis kabar burung berita penangkapan sang panglima besar. “Pak Dirman ada di tengah-tengah kita! Pak Dirman mimpin kita! Hidup Pak Dirman!”.

Sebelum pasukan Belanda masuk ke jantung kota Yogya, Soedirman sempat bertandang ke Gedung Agung untuk mengajak Sukarno mengungsi karena pasukan Belanda telah menguasai Maguwo.

Sukarno mengelak. Bung Besar berkehendak tetap di kota sembari menanti kesempatan melakukan diplomasi. Tidak ada kesepakatan, Soedirman pun tetap berkeras melanjutkan perjuangan tempur melalui jalan gerilya.

Soedirman lantas menerapkan Perintah Siasat Nomor 1/STOP/5/48 berisi penerapan strategi Perang Gerilya Semesta, dengan prioritas “Tidak akan melakukan pertahanan linier” kepada seluruh komando-komando daerah militer.

Menggunakan pertahanan sistem linier ketika berhadapan dengan kekuatan suatu pasukan besar dengan senjata canggih, menurut Tjokropranolo, sama saja artinya dengan mengorbankan anak buah, karena tembakan udara dan senjata lengkung Belanda akan mudah menghancurkan pertahanan.

Dengan separuh paru-paru tersisa, dan kesehatan menurun, Soedirman meneruskan perjalanan ke luar kota untuk melakukan perjuangan gerilya dengan basis kekuatan di hutan wilayah Jawa Timur.

Strategi Perang Gerilya Semesat, menurut Rooslan Abdul Gani pada “Peranan Panglima Besar Soedirman dalam Revolusi Indonesia”, menggunakan taktik hit and run atau pukul dan lari, memukul tentara Belanda sewaktu lengah dan lelah, lalu mundur mencari perlindungan di tengah-tengah rakyat selagi Belanda melakukan serangan balik.

Kunci penting strategi tersebut terletak pada keeratan hubungan pasukan TNI dengan rakyat. “Terkenalah pada waktu itu identifikasi dan kualifikasi Panglima Besar Soedirman tentang hubungan tentara dengan rakyat kita sebagai ‘ikan dan air’”, ungkap Abdulgani.

Terbukti strategi Soedirman ampuh. Belanda tak mampu menangkap sang panglima besar lantaran medan nan terjal dan berliku di bukit serta hutan di wilayah Jawa Timur.

Spoor melalui Operasi Gagak memang berhasil menahan Sukarno-Hatta, tapi tidak mampu meladeni Operasi Perang Gerilya Semesta Jenderal Sedirman. (*)

#Lapsus Jenderal Soedirman #Jenderal Soedirman
Bagikan
Bagikan