MerahPutih.com - Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) masih dua tahun lagi. Namun, partai politik mulai menjajaki peluang koalisi.
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani membeberkan setidaknya ada enam faktor yang bisa mempengaruhi partai politik bisa berkoalisi dan mendukung satu pasangan tertentu.
Baca Juga
Survei SMRC: Pemilih Berorientasi Politik Kebangsaan, bukan Politik Islam
Pernyataan ini disampaikan Saiful Mujani, pada program Bedah Politik episode “Prabowo-Puan vs Ganjar-Airlangga atau Anies-AHY?” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis (21/4).
Faktor pertama, kesamaan platform partai atau ideologi. Ideologi yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah partai yang lebih nasionalis atau kebangsaan, partai yang lebih pluralis dalam pengertian inklusif terhadap pelbagai identitas.
"Di sisi yang lain ada partai yang lebih menekankan Islam, lebih eksklusif karena Islam lebih diutamakan, kurang terbuka pada semua unsur yang beragam dalam masyarakat Indonesia," ujar Saiful. Saiful menilai ada dua kutub ideologi politik di Indonesia. Kutub yang paling nasionalis adalah PDIP. Sementara kutub yang paling Islam adalah PKS. Karena jarak ideologisnya jauh, antara PDIP dan PKS, maka kemungkinan untuk bersama-sama di tingkat nasional tidak mudah.
"Sementara partai-partai dalam spektrum antara PDIP dan PKS bisa berkoalisi dilihat dari sisi ideologi, misalnya PDIP dengan Golkar, Demokrat, dan Nasdem," ujarnya. Faktor kedua, komunikasi elit. Menurut Saiful komunikasi elit sangat menentukan. Sejak Pilpres 2004 sampai sekarang, terlihat PDIP dan Demokrat tidak mudah untuk melakukan komunikasi.
"Ketika Demokrat berkuasa dan SBY sebagai presiden, PDIP memilih sebagai partai oposisi. Ketika PDIP berkuasa, sebagai partai terbesar pendukung pemerintah, Demokrat sebenarnya ingin bergabung sebagai partai pendukung pemerintah, tapi PDIP nampaknya tidak menerima," jelas dia. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, lanjut Saiful, Nasdem dan Gerindra juga tidak mudah untuk bertemu. Mereka punya pengalaman tersendiri tentang itu. Belakangan, Nasdem dan PDIP juga tidak mudah berkomunikasi. “Oleh karena itu, faktor kemudahan komunikasi dan suasana kebatinan di antara elit partai akan mempengaruhi formasi koalisi,” kata dia.
Baca Juga
Survei SMRC: Pilpres 2024 Diprediksi Diikuti Tiga Calon, Duet Anies-AHY Menang
Faktor ketiga, adanya tiga partai besar yang sangat berpengaruh untuk menjadi atau menarik poros koalisi, yaitu PDIP, yang tanpa koalisi pun sudah cukup untuk mencalonkan presiden. Kemudian Gerindra dan Golkar yang masih membutuhkan sedikit tambahan suara. Faktor keempat, intensitas harus menjadi calon presiden. Ada partai yang pimpinannya harus jadi calon presiden, yaitu Gerindra. Saiful menyatakan bahwa mungkin pertimbangannya adalah efek Prabowo pada partai Gerindra itu sendiri.
"Sementara partai-partai lain tidak sekuat dukungan pada Prabowo. Misalnya Golkar dengan Airlangga belum terlalu yakin apakah akan maju sebagai nomor satu," ujarnya.
Demikian juga Puan Maharani, walaupun partainya besar, juga belum kuat didorong untuk menjadi calon presiden. Karena itu, menurut Saiful, faktor Prabowo menjadi sangat penting karena dia akan maju menjadi nomor satu. Faktor kelima, elektabilitas bakal calon. Saiful menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, belum ada perubahan signifikan dalam komposisi dukungan pemilih terhadap calon. Tiga besar yang mendapatkan dukungan terbanyak dari publik adalah Prabowo, Ganjar, dan Anies.
"Prabowo dan Ganjar sudah seimbang. Sementara dalam setahun terakhir, Maret 2021 sampai Maret 2022, Ganjar dan Anies mengalami kemajuan," kata dia. Faktor keenam, Ormas Nahdlatul Ulama (NU). “NU juga ikut berpengaruh, setidak-tidaknya untuk calon wakil presiden,” imbuh Saiful. Saiful menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, Megawati atau PDIP cenderung akan berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama. Pada 2004, Megawati menggandeng Hasyim Muzadi, 2014 Jokowi-Yusuf Kalla, dan 2019 Jokowi-Makruf Amin.
"Ada kecenderungan PDIP memilih tokoh NU sebagai calon wakil presiden," ujarnya. Saiful menyimpulkan bahwa dari kombinasi enam variabel itu, yang paling mungkin muncul adalah tiga poros atau tiga pasangan. Poros pertama adalah PDIP. Partai ini bisa mengambil siapa saja, kemungkinan PPP agar suasana Islam bisa terbentuk. Poros kedua adalah Gerindra. Suara partai ini tidak cukup, mereka membutuhkan setidaknya satu partai lain. Jika PKB bergabung, itu cukup untuk memasangkan Prabowo dan Muhaimin, misalnya.
"Sementara poros ketiga adalah Golkar. Golkar bisa terbuka untuk Nasdem, Demokrat, atau PKS," tutup Saiful. (Pon)
Baca Juga
Simulasi Capres: Prabowo-Puan Lebih Unggul Dibandingkan Anies-AHY