Situs Gunung Padang, Misteri Benua Atlantis?


Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. (Foto: MP/Noer Ardiansjah)
MerahPutih Tradisi - Kurang lebih seperti itulah hipotesis yang seolah diaminkan oleh sebagian besar masyarakat luas, khususnya bagi mereka yang gemar menelusuri jejak sejarah dan budaya. Tidak hanya di Indonesia, pun dunia internasional.
Berawal dari sebuah apriori seorang filsuf Yunani Kuno, Plato, dalam tulisannya, "Timaeus and Critias" yang dengan gamblang menggambarkan sebuah bangsa unggul dalam bidang pengetahuan, di mana bangsa tersebut hidup di Benua Atlantis.
Berdasarkan karya Plato itulah, dua ilmuwan, Dr Arsyio nunes Dos Santos dan Stephen Oppenheimer meneliti lebih jauh semua pemikiran tersebut.
Dr Arsyio Santos yang menelurkan karya, "Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization", dan Stephen Oppenheimer dengan karya, "Eden in the East", mendapat respons positif dari beberapa sejarawan Indonesia, salah satunya ialah Dr Danny Hilman Natawidjaja.
Untuk membuktikan pendapatnya, Danny Hilman dan timnya hingga saat ini masih sibuk menelusuri Gunung Padang yang diyakini merupakan peninggalan Atlantis.
Namun, sejarawan lain yang bernama Dicky Zainal Arifin atau akrab disapa Kang Dicky (KD) memiliki keyakinan berbeda. Menurutnya, pembangun Gunung Padang adalah bangsa Lemuria, bangsa yang menurunkan suku-suku di Nusantara sekarang ini.
Kang Dicky mendapatkan teori tersebut berdasarkan metode time travel atau ngimpleng yang tentunya akan menjadi tertawaan ilmuwan-ilmuwan yang lebih memercayai metode ilmiah untuk membuktikan sebuah teori.
Meski demikian, ihwal kedua teori tersebut justru memiliki beberapa pengikut fanatiknya masing-masing. Kontroversi teori itu memang terus berkembang hangat di kalangan sejarawan.
Bahkan, tidak sedikit juga yang menjadikan polemik itu sebagai perdebatan politis bagi sebagian lainnya; perdebatan antara yang memercayai takhayul dan mereka yang rasional.
Bukti dari kepercayaan bangsa Atlantis sebagai nenek moyang bangsa Indonesia, dipercaya begitu saja tanpa bukti nyata. Hanya buku "Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization" karya Prof. Dr. Aryso Santos dan "Eden in the East" karya Stephen Oppenheimer-lah yang menjadi pegangan mereka.

Karaton Surya Padang
Saat tim merahputih.com secara langsung mendatangi lokasi tersebut di Cianjur, Jawa Barat beberapa waktu lalu, penulis berjumpa dengan salah seorang sesepuh di sana, Abah Dadi. Berdasarkan pemahamannya, beliau mendaraskan sejarah Gunung Padang yang diterimanya melalui folklor (lisan orang tua) zaman dulu yang hingga saat ini masih terus terjaga.
Dengan pakaian yang serba hitam, tas rajutan akar serta ikat kepala corak batik, lelaki tua itu menuturkan apa yang menjadi kebiasaannya kepada para pengunjung situs.
"Awalnya nama ini bukan Gunung Padang. Menurut cerita orang tua, namanya Nagara Siang Padang. Tempat ini dulunya merupakan Karaton Surya Padang," ucap Abah Dadi.

Juru Kunci Situs Gunung Padang Abah Dadi. (Foto: MerahPutih/Noer Ardiansjah)
Berdasarkan pemaparan beliau, Nagara berarti negara. Negara adalah komunitas yang punya tingkatan kasta dari masyarakat bawah, pejabat, sampai presiden. Jadi, makna Nagara yang dimaksud adalah tatanan, tingkatan, atau rangkaian. Sedangkan Siang berarti kesiangan atau telat, atau penghujung, atau akhir. Lalu Padang punya arti cahaya atau penerang.
Dari cerita turun-temurun tersebut, Abah Dadi meyakini Gunung Padang bukan sekadar bukit dan bukan sekadar situs peninggalan sejarah. Sebab, tempat ini sudah sejak ratusan tahun lalu sudah disucikan, dikeramatkan. Dan hal lain yang ia yakini adalah Gunung Padang merupakan sumber ilmu.
Hal itu yang kemudian menyebabkan beberapa tahun belakangan ini menggerakkan beberapa tim ahli untuk meneliti lebih jauh misteri Gunung Padang dari sisi ilmiah. "Banyak juga penelitian belakangan ini. Di tempat ini ada berbagai macam ilmu yang dapat digali. Ilmu arkeologi, geologi, antropologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain," ujar Abah Dadi.
Selain menyimpan ragam ilmu serta panorama alam yang begitu indah, Situs Gunung Padang juga menyimpan beberapa ‘harta karun’ yang tentunya tidak ternilai dengan uang, seperti metal kuno atau logam, tembikar purba mirip pisau, batu The Rolling Stone Gunung Padang, pecahan keramik, koin amulet Gunung Padang, artefak mirip kujang dan lain sebagainya.
"Di tempat ini (Gunung Padang), banyak yang bisa gali. Sekarang orang datang ke sini karena pertimbangan keberadaan batu-batu tersebut, apakah batu ini dibentuk dulu oleh manusia atau benda alam? Namun, nama dari jenis batu balok seperti ini adalah batu andesit,” pungkasnya.
Lebih lanjut Abah Dadi memaparkan bahwa dari uji karbondating oleh arkeolog ditafsirkan usia batu tersebut telah mencapai 15.000 tahun yang lalu. "Bilamana batu ini dibentuk oleh manusia dulu, berarti sebelum masa prasejarah. Sebelum dinamisme-animisme. Namun, jika batu ini alam, bisa juga yang menata ini adalah generasi, seperti memang ditata oleh era Eyang Prabu Siliwangi,” tambahnya.
Sekali lagi, selain menyimpan ragam cerita yang unik, pemandangan alam yang begitu indah, ‘harta karun’ yang tidak ternilai, Situs Gunung Padang juga telah menjadi perhatian khusus bagi salah satu organisasi dunia yang bergerak di bidang pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan, UNESCO.
Dan sebagai penutup, penting untuk jadi catatan bahwa terlepas dari aneka ragam cerita yang ada ihwal asal-muasal Gunung Padang, justru hal demikian dapat kita jadikan sebagai khazanah negeri ini, serta membagi arah pikiran untuk menambah pengetahuan kita tentang sejarah Indonesia.
Untuk mengetahui sejarah Gunung Padang lainnya, silakan baca Menyingkap Misteri Situs Megalitikum Gunung Padang