SITUASI dan kondisi ekonomi dan politik selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965 sangatlah genting. Harga-harga melambung tinggi karena Inflasi pada tahun 1966 itu mencapai 600 persen. Demonstrasi pun tak terelakan memenuhi jalan-jalan di ibu kota. Sampai pada satu titik di tanggal 12 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang terdiri dari Kesatuan Aksi Pelajar (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), berbaris serentak dengan dikawal tentara di belakangnya, mendatangi Gedung DPR-GR Senayan membawa Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).
Baca Juga:
Misi Dua Pengusaha Membujuk Sukarno Melimpahkan Kekuasaan Kepada Soeharto
Tiga tuntutan itu berisi: 1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya; 2. Perombakan kabinet Dwikora; dan 3. Turunkan harga pangan. Sayangnya aksi ini tidak ditanggapi Presiden Sukarno, yang malah merombak kabinet dengan anggota baru sebagian simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan Bung Karno itu memicu terjadinya gelombang demonstrasi berikutnya, memboikot pelantikan menteri-menteri baru itu pada 24 Februari 1966 dengan mengempeskan ban mobil-mobil dan menutup jalan menuju Istana Negara.

Aksi itu berujung tragedi tewasnya mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) bernama Arif Rahman Hakim oleh peluru Resimen Pengawal Presiden, Tjakrabirawa. KAMI pun dibubarkan meskipun berbagai aksi tidak pernah surut. Dampak dari Tritura ini turut melahirkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan kewenangan Suharto memulihkan keamanan dan ketertiban pada saat itu sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Sejarah kemudian mencatat, Suharto menjadi presiden yang juga otoriter dan represif hingga 32 tahun lewat rezim order baru (Orba). (pid)
Baca Juga: