Sistem Proporsional Terbuka Picu Politik Uang dan Korupsi

Zulfikar SyZulfikar Sy - Rabu, 04 Januari 2023
Sistem Proporsional Terbuka Picu Politik Uang dan Korupsi
Ilustrasi - Tukang becak melintas di dekat baliho sejumlah bakal calon Gubernur Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (31/8). (ANTARA FOTO/Yusran Uccang)

MerahPutih.com - Sistem Pemilu 2024, antara proporsional terbuka atau tertutup, menjadi perdebatan. Sebagian kalangan menyatakan, sistem proporsional tertutup dengan mencoblos partai lebih simpel dan murah. Sebagian lainnya tetap menginginkan sistem proporsional terbuka agar diterapkan.

“Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Oce Madril saat dihubungi, Rabu (4/1).

Meski demikian, dia mengingatkan ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Misalnya, sistem proporsional terbuka dengan mencoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.

Baca Juga:

Pemilih Cenderung Lebih Kenal Caleg pada Sistem Proporsional Terbuka

Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics). Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar. Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut satu kursi.

Oce Madril menambahkan, biaya tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya. Para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan caleg dalam satu partai. Selain berbiaya tinggi, juga memicu konflik.

“Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” lanjut Oce Madril.

Baca Juga:

KPU Sarankan Bakal Caleg Tahan Diri sebab Kemungkinan Pemilih Hanya Coblos Partai

Pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara. Rumusnya sederhana, karena modal yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya.

Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik, dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.

Sementara, kata Oce Madril, sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik.

"Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup kembali diterapkan, maka partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” tutup Oce Madril. (Pon)

Baca Juga:

KPU Janji Bakal Uji Publik Rumusan Daerah Pemilihan Pemilu 2024

#Pemilu #Pemilu 2024
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan