MASIH dalam euforia gelombang ombak dari album terbaru The Panturas. Band asal Jatinangor ini mempersembahkan tafsir sinema dari nomor All I Want.
Sebuah film pendek karya sutradara Edy Khemod yang menampilkan tiga karakter lain, di luar personel The Panturas. Peran tersebut masing-masing dibintangi oleh Prisia Nasution sebagai Ida, Dimas Danang sebagai Anwar, dan Tio Pakusadewo sebagai tukang jagal.
Baca juga:
Alkisah film bercerita tentang cerita balas dendam berbalut asmara dari seorang perempuan bernama Ida kepada seorang tukang jagal, pembunuh orang tuanya yang dituduh antek PKI pada masa pemberangusan komunis sekitar 1965.
“Ketika tengah mengembangkan cerita, kami sadar kalau ternyata violence breed violence,” ucap Khemod dalam keterangan resmi yang diterima Merah Putih, Jumat (25/9).
Cerita berkembang menuju 16 tahun pasca kejadian. Dengan dramatis Ida telah berhasil menyekap si penjagal, yang tangannya terikat di lokasi pengulitan daging restoran sate kambing miliknya. Sebelum akhirnya, Anwar, gebetan Ida yang lugu dan romatis muncul secara mengejutkan di depan pintu, merengek dan menagih balasan cinta yang tak kunjung juga diterimanya.
Sadar dirinya nanti (Ida) membutuhkan bantuan bersih-bersih paska pembantaian, mental psikopat Ida pun berkibar, diseretnya Anwar masuk ke dalam rencana sadisnya malam itu dengan cara klasik. Ia mempertanyakan seberapa besar kesungguhan cinta Anwar dan demikian pula ia menuntut sebuah pembuktian darinya.
Baca juga:
Teror Kujang Atawa Leak di Video Musik 'Tafsir Mistik' The Panturas
Anwar yang bersemangat kontan masuk perangkap, sampai akhirnya terjadilah hal yang sudah dinantikan Ida selama hidupnya. Aksi cincang tubuh manusia. Dipecah-pecah kemudian menyerupai potongan ‘kambing guling’ dan ditempatkan ke dalam beberapa kardus dan 'dibuang' begitu saja di pinggir jalan, persis seperti kasus Setiabudi 13 di tahun 1981.
“Setiabudi 13 adalah kasus yang masih menjadi misteri hingga hari ini. kenapa bisa seperti itu, tidak ada yang pernah tahu. Karena ada area abu-abu tersebut, kami berpikir menarik jika kami bersama Khemod membuat cerita fiksi dari kejadian nyata tersebut,” ujar dramer Surya ‘Kuya’ Fikri Asshidiq.

Terkait premis cerita yang mengambil latar kelam sejarah genosida komunis di tahun 1965, sebagai motif utama pembalasan dendam, Edy Khemod menanggapinya dengan menyelipkan dua pesan khusus yang ingin disampaikannya.
“Walaupun bergaya fiksi, film ini mengandung pertanyaan, bahwa ada masa lalu yang terus ditutupi, dan kita tidak pernah terbuka sebagai sebuah bangsa setiap kali menghadapi masalah itu. Jadi, bukan tidak mungkin kejadian berdarah seperti di film ini bisa terwujud di kehidupan nyata,” terang Khemod. (Far)
Baca juga: