Di Balik Panggung Proklamasi

Lika-Liku Sejarah Mikrofon Proklamasi

Zaimul Haq Elfan HabibZaimul Haq Elfan Habib - Jumat, 17 Agustus 2018
Lika-Liku Sejarah Mikrofon Proklamasi
Sukarno saat proklamasi. (Foto/satuislam.org)

SEJAK pagi buta pada 17 Agustus 1945 telah diadakan persiapan untuk membacakan teks proklamasi di rumah Sukarno di pengangsaan timur 56. Sekiranya, hampir 1000 orang tumpah ruah di acara tersebut.

Acara pun bergulir. Sukarno naik ke podium dan membacakan teks proklamasi didampingi Mohammad Hatta.

Suara Sukarno terdengar lantang dan jelas. Hal itu tak lepas dari peran pengeras suara.

Sukarno saat berpidato dikhalayak ramai. (Istimewa)
Sukarno saat berpidato dikhalayak ramai. (Istimewa)

Peran besar benda tersebut lantas tak dilupakan begitu saja oleh Sukarno. Dalam autobiografinya Sukarno menjelaskan tentang riwayat mikrofon tersebut. “Aku berjalan ke pengeras suara kecil hasil curian dari stasiun radio Jepang dan dengan singkat mengucapkan proklamasi itu,” kata Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Lebih jelasnya, pada 5 Oktober 1966, di Jakarta dalam pidato hari jadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Sukarno kembali lagi berbicara soal mikrofon proklamasi.

“Kita telah memiliki pada tanggal 17 Agustus 1945 itu mikrofon. Satu-satunya hal boleh dikatakan, materiel yang telah kita miliki, satu mikrofon, yang dengan mikrofon ini kita dengungkan ke hadapan seluruh manusia di bumi ini bahwa kita memproklamasikan kemerdekaan kita,” kata Sukarno.

Tak sependapat dengan pernyataan tersebut, pada 6 September 1972, Sudiro melontarkan kisah berbeda. Hal itu disampaikannya dalam ceramahnya di Lembaga Pembinaan Jiwa ‘45 Jakarta.

“Itu tidak betul!” bantah Sudiro dalam Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945.

Sudiro menjelaskan mikrofon itu milik Gunawan, pemilik Radio Satriya, bertempat tinggal di Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta. Alat tersebut merupakan hasil rakitannya sendiri.

Gayung bersambut, Gunawan mengakui memang benar mikrofon itu buatannya sendiri. “Magnitnya saya buat dari dua buah dynamo sepeda, sementara band-nya hanya dari grenjeng (kertas perak pembungkus rokok),” kata Gunawan dikutip Kompas, 16 Agustus 1984.

Mengenai kisah peminjamannya, Gunawan menceritakan pada 17 Agustus 1945 pukul 07.00 pagi, Wilopo dan Njonoprawoto mengendarai sebuah mobil datang untuk meminjam mikrofon. Mereka tidak memberitahu Gunawan untuk keperluan apa mikrofon itu.

Namun, ketika tak bisa memasangnya Wilopo melaporkan hal tersebut kepada Gunawan.

Gunawan lantas mengutus saudaranya Sunarto. Pada Sunartolah kedua peminjam tersebut bercerita mikrofonnya digunakan untuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Setelah dipakai Sukarno, pada tahun 1946, mikrofon itu dibawa ke Solo. Alat itu disimpan baik-baik dan sesekali diperlihatkan pada teman-temannya.

Pada 1949, Gunawan kembali lagi ke Jakarta. Namun, mikrofon bersejarah itu tak dibawanya lengkap. Sebagian alat yang rusak ditinggalkannya di Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang telah mengetahui tentang sejarah mikrofon keramat tersebut.

Tawaran datang dari berbagai pihak. “Ada seorang India dari suku Sikh yang datang malam-malam, menyatakan keinginannya menukar mikrofon itu dengan sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol,” kata Gunarso, putra Gunawan. Gunawan menolak.

Akhir perjalananya, Gunawan menyerahkan mikrofon itu ke Harjoto, Sekjen Kementerian Penerangan. Harjoto yakin dengan sejarah mikrofon tersebut menghadiahkannya kepada Sukarno saat ulang tahu ke-58.

“Harjoto menerangkan bahwa dia menyerahkan ‘mikrofon keramat' kepada Presiden Sukarno sebagai hadiah dalam hubungannya dengan ulang tahun Presiden ke-58,” tulis Antara, 17 Juni 1959. (*)

#Lapsus Proklamasi #Hari Proklamasi #Jejak Proklamasi #Proklamasi Kemerdekaan
Bagikan
Ditulis Oleh

Zaimul Haq Elfan Habib

Low Profile
Bagikan