MerahPutih.com - Realisasi pembiayaan utang sepanjang 2020 mencapai Rp1.226,8 triliun atau tumbuh 180,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp437,5 triliun.
Realisasi tersebut, mencapai 100,5 persen target dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp1.220,5 triliun. Peningkatan ini dalam rangka penanganan dampak pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Baca Juga:
COVID-19 Meningkat, Mobilitas Warga di Pulau Jawa dan Bali Dimonitor Secara Ketat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan pembiayaan utang disebabkan oleh peningkatan sangat tinggi dari penerbitan SBN netto yang mencapai Rp1.177,2 triliun atau meningkat 163,8 persen (yoy) dari periode yang sama 2019 sebesar Rp446,3 triliun.
Realisasi penerbitan SBN netto tersebut merupakan 100,3 persen dari target Perpres 72/2020 sebesar Rp1.173,7 triliun. Sementara untuk pinjaman hanya Rp49,7 triliun atau minus 667 persen dari periode 2019 dan merupakan 106,3 persen dari target Perpres 72/2020 sebesar Rp46,7 triliun.
Kemudian, pembiayaan investasi sepanjang 2020 telah terealisasi sebesar Rp104,7 triliun dari target pemerintah dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp257,1 triliun sehingga hanya 40,7 persen dari target. Pembiayaan investasi ini meningkat 112,1 persen dibandingkan periode sama tahun 2019 sebesar Rp49,4 triliun.
Sri Mulyani merinci, investasi kepada BUMN mencapai Rp31,3 triliun, BLU Rp31,3 triliun, dan lembaga atau badan lainnya Rp25 triliun. Selanjutnya, pemberian pinjaman selama 2020 adalah sebesar Rp1,5 triliun, kewajiban penjaminan Rp3,6 triliun, dan pembiayaan lainnya Rp70,9 triliun.
Kemenkeu memastikan pembiayaan utang akan tetap dilaksanakan secara prudent, fleksibel, dan terukur dengan mengoptimalkan sumber pembiayaan yang paling efisien.
"Pembiayaan investasi ditujukan untuk mendukung UMKM, korporasi dunia usaha, dan pengembangan SDM," ujarnya.

Berdasarkan rincian tersebut maka realisasi pembiayaan anggaran selama 2020 mencapai Rp1.190,9 triliun atau meningkat 196 persen dari 2019 yang hanya sebesar Rp402,1 triliun.
"Pembiayaan yang sangat besar ini kami lakukan burden sharing dengan Bank Indonesia yang diatur dalam SKB I dan II," jelasnya.
Sri Mulyani menegaskan, rasio utang Indonesia sebesar 38 persen dengan defisit 6,34 persen. Kondisi ini, masih lebih baik dibandingkan negara lain seperti Amerika Serikat (AS) dan Perancis yang telah mencapai lebih dari 100 persen serta Jerman, China dan India di atas 60 persen.
"Setiap negara lakukan countercylical fiskal defisit besar sebab harus membelanjakan berbagai kebutuhan untuk melindungi masyarakat karena terdampak COVID-19," katanya dikutip Antara. (*)
Baca Juga:
Pemerintah Bebaskan Pajak Vaksin COVID-19 Sinovac Tiongkok