Selama Pandemi COVID-19, Suara Angklung Made In Negeri Aing Tak Lagi Berdengung

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Sabtu, 26 Juni 2021
Selama Pandemi COVID-19, Suara Angklung Made In Negeri Aing Tak Lagi Berdengung
Angklung alat musik tradisional yang terbuat dari bambu. (Foto: Instagram @angklungudjo)

SUARA angklung tak lagi terdengar riuh di Saung Angklung Udjo (SAU), Jalan Padasuka, Pasirlayung, Cibeunying Kidul, Bandung. Pandemi COVID-19 menyurutkan jumlah pengujung sampai bisa dihitung jari satu tangan.

"Bahkan tamunya pernah ibu, bapak, dan anak kecil tiga orang, kemudian pemainnya 30 orang," kata Taufiq Hidayat, Direkur Utama Saung Angklung Udjo dilansir Antaranews.

Baca juga:

Mengapa Produk 'KW' Jadi Musuh Ekosistem Lokal Made In Negeri Aing



Pengelola SAU tergopoh-gopoh mencari jalan keluar agar bisa menutup biaya operasional. Selama pandemi, lanjut Taufiq, SAU mengalami jumlah penurunan pengujung drastis sehingga pemasukan berkurang, dan kerepotan membiayai 600 karyawan. "Dari 600 sekarang cuma 40," kata Taufiq.

Sebelum pandemi, SAU jadi lokasi wajib pelancong dari pelbagai kalangan ketika mengunjungi Bandung. SAU tercatat berhasil menarik sebanyak 2.000 pengunjung per hari. Mayoritas pengunjungnya pelajar dan wisatawan. Sekitar 90 persen merupakan rombongan bus. Sering pula wisatawan mancanegara berkunjung sekadar ingin melihat pertunjukan bahkan belajar angklung secara mendalam.

angklung
Saung Angklung Mang Udjo kerap menjadi tempat kunjungan wisata budaya ketika di Bandung (Foto: angklung-udjo)

SAU merupakan tujuan wisata budaya dan edukasi angklung terlengkap, memiliki arena pertunjukan, pusat kerajinan dari bambu, dan workshop alat musik bambu.

Selain jadi tempat wisata dan pelestarian angklung, SAU juga jadi ikon Bandung bahkan namanya santer di luar negeri. Banyak wisatawan asing, semula tertarik terhadap pertunjukan, lalu secara mendalam menekuni angklung bahkan sampai meneliti alat musik berbahan bambu tersebut.

Banyak catatan positif diraih SAU, seperti saat berhasil memecahkan rekor dunia sekaligus rekor muri dengan pemain terbanyak berjumlah 20.704 warga bandung, secara serentak bermain Angklung di Stadion Siliwangi Bandung. Pencapaian tersebut sekaligus menggeser rekor sebelumnya dipegang Jakarta pada 2008 dengan jumlah orang 11.000 orang.

angklung
Diperkirakan alat musik ini sudah dikenal sebelum masa Kerajaan Sunda sekitar abad ke-11. (Foto: Instagram the_street420)

Tak puas dengan rekor pada 2008, SAU menginisiasi catatan rekor duni baru melibatkan kurang lebih lima ribu partisipan dari berbagai duni bermain angklung bersama di Washington, Amerika Serikat.

Prestasi tersebut sekaligus mengukuhkan eksistensi angklung di kancang dunia saat berhasil dikukuhkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada 2010 sebagai Warisan Budaya Tak Benda asal Indonesia.

Baca juga:

Maternal Disaster Trendsetter Apparel Penggemar Musik Cadas Tanah Air

Angklung telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari orang Sunda. Alat musik bernada ganda atau multitonal tersebut, di masa lalu memiliki fungsi untuk ritual Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri (dewi padi lambang kemakmuran) supaya memberikan berkah dan kesuburan untuk tanaman padi.

Angklung berasal dari bahasa Sunda angkleung-angkleungan atau sebutan untuk gerakan pemain angklung, serta dari suara Instrumen bambu ketika digoyang “klung”. Tidak ada keterangan pasti, kapan angklung mulai dikenal dan dimainkan.

Terdapat dua beragam jenis angklung, namun, secara umum dapat dikelompokan menjadi dua, antara lain angklung tradisional dan angklung modern.

View this post on Instagram

A post shared by Alstudion (@alstudion)

Beberapa jenis angklung tradisional, seperti termuat di buku Musik Bambu, hingga kini masih ada di lingkungan masyarakat Sunda di Jawa Barat dan Banten. Jenis Angklung tersebut memiliki tangga nada pentatonik (da – mi – na – ti – la) dan biasa dilengkapi dengan alat lain, seperti dogdog, kendang dan gong.

Beberapa angklung tersebut, angklung buhun (Desa Kanekes, Banten), angklung bungko (Desa Bungko, perbatasan Cirebon dan Indramayu), angklung gubrag ( Desa Cipinang, Bogor), dan masih banyak lagi.

Sedangkan jenis angklung modern, dikembangkan Daeng Soetigna seorang guru setingkat SD pada, atau kini disebut Bapak Angklung Indonesia, pada 1938, di Kuningan.

Kala itu, Soetigna kedatangan seorang pengemis tua memainkan sebuah angklung buncis. Ia terpukau, kemudian membeli alat musik tersebut dan mempelajarinya. Saking asyiknya, Soetigna mencari pembuatnya, dan bertemulah dengan Pak Djaja, disebut sebagai “guru besarnya”.

Setelah berguru dengannya, ternyata Daeng mampu mengubah tangga nada angklung tradisional menjadi nada diatonik (do – di – re – ri – mi – fa – fi – sol – sel – la – li – ti – do) seperti dikenal hingga sekarang.

Setelah Daeng Soetigna, pengembangan angklung selanjutnya diturunkan kepada muridnya, Udjo Ngalagena atau biasa disapa Mang Udjo. Pada 1967, Mang Udjo mendirikan sebuah pusat pembuatan dan pengambangan kreasi kesenian angklung dikenal sebagai Saung Angklung Mang Udjo sampai sekarang terancam gulung tikar. (Rzk)

Baca juga:

Alutsista Made In Negeri Aing Diminati Dunia

#Juni Made In Negeri Aing #Musik Tradisional #Musik Angklung
Bagikan
Bagikan