Sejumlah Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Aksi 22 Mei, AJI: Ini Terburuk Sejak Era Reformasi

Andika PratamaAndika Pratama - Sabtu, 25 Mei 2019
Sejumlah Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Aksi 22 Mei, AJI: Ini Terburuk Sejak Era Reformasi
Massa rusuh dengan melemparkan kembang api ke arah polisi dan wartawan (MP/Rizki Fitrianto)

Merahputih.com - Sejumlah Jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa berujung kerusuhan pada 21-22 Mei, makin bertambah. Data sementara yang dicatat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ada 20 jurnalis dari berbagai media yang menjadi korban.

Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung mengatakan, mekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja jurnalistik, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga pembakaran motor milik jurnalis.

Sejumlah lembaga pers ikut dalam aksi May Day (MP/Asropih)
Sejumlah lembaga pers ikut dalam aksi May Day (MP/Asropih)

"Mayoritas kasus kekerasan itu terjadi saat para jurnalis meliput aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Bawaslu, di kawasan Thamrin. Beberapa kasus di antaranya, aparat kepolisian melarang jurnalis merekam aksi penangkapan orang-orang yang diduga sebagai provokator massa," kata Erick dalam keterangannya, Jumat (24/5).

Para jurnalis tetap mengalami kekerasan meskipun mereka sudah menunjukkan identitasnya, seperti kartu pers kepada aparat. Aparat menunjukkan sikap tak menghargai kerja jurnalis yang pada dasarnya telah dijamin dan dilindungi oleh UU Pers.

"Sampai saat ini AJI Jakarta masih mengumpulkan data dan verifikasi para jurnalis yang menjadi korban. Tak menutup kemungkinan, masih banyak jurnalis lainnya yang menjadi korban, dan belum melapor," jelas Erick.

"Kasus kali ini merupakan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terburuk sejak reformasi," papar Erick.

Atas tindakan itu, AJI Jakarta dan LBH Pers mengecam keras aksi kekerasan dan upaya penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun massa aksi.

Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput peristiwa kerusuhan bisa dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik. Perbuatan itu termasuk pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.

Kerusuhan depan kantor Bawaslu Jakarta Pusat
Massa aksi depan Gedung Bawaslu bertahan hingga subuh di Jalan Wahid Hasyim (MP/Rizki Fitrianto)

Erickm mendesak aparat keamanan dan masyarakat untuk menghormati dan mendukung iklim kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi serta menghalangi kerja jurnalis di lapangan.

"Kami juga mengimbau kepada para pimpinan media massa untuk bertanggung jawab menjaga. (Knu)

#Aliansi Jurnalis Independen
Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Bagikan