JELANG lebaran lalu beredar meme pertanyaan pantangan meski basa-basi, kapan nikah?
Jika hari ini pertanyaan tersebut sekadar basa-basi dan dilontarkan saudara, teman, dan mantan pacar, di masa lalu pemegang otoritas tertinggi berkewenangan menanyakan status sudah menikah atau belum.
Baca juga: Lakon Sejarah Dakon, Permainan Tradisional Paling Populer Saat Ramadan
Status jomlo di usia produktif membuat merah kuping pemerintah. Pada permulaan 1808, pemerintah Hindia Belanda memerintahkan para bupati khusus mengawasi orang-orang jomlo atau lajang.
Uraian perintah tersebut, pada Plakaatboek,XV, P. 1808, disebutkan agar perhatian para bupati ditujukan kepada kaum pribumi dan rakyat jelata supaya tidak lagi hidup menyendiri. “Semua pria dan wanita muda sudah bisa menikah, harus segera menikah dan dengan demikian akan mencegah terjadinya kemalasan, hidup menggelandang, dan kenakalan lainnya serta mendorong pertambahan penduduk secara tetap”, dikutip Peter Boomgard pada Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880.

Kejomloan jelas diterjemahkan pemerintah sebagai masalah ekonomi. Kaum jomlo, duda, dan janda, lanjut Boomgaard, dianggap sebagai satuan sosial dan ekonomi tak utuh dan lengkap sehingga kontraproduktif terhadap perekonomian.
Di daerah-daerah dengan sistem kepemilikan tanah umum, kaum jomlo tidak diperkenankan menjadi pemilik tanah.
Pemerintah menggariskan, seturut Boomgaard, hanya pasangan menikah bisa membentuk satuan ekonomis dan mampu mencukupi kebutuhan. Mereka menjadi motor penggerak semua kewajiban sosial, ekonomi, dan politik terhadap komunitas lokal dan negara.

Cara pandang pemerintah Hindia Belanda tersebut menyerap tata hidup masyarakat Jawa tentang hidup membujang atau jomlo pada usia dewasa sebagai kekeliruan atau menyimpang kodrat. “Tidak dapat disangkal di Jawa hampir semua orang menikah. Tidak ada adat kebiasaan atau lembaga melarang pernikahan,” tulis Boomgaard.
Baca juga: Membongkar Klaim Raden Patah Orang Tionghoa
Tak heran bila status menikah senantiasa didorong penguasa Jawa maupun penguasa Belanda. Jelaslah, baik komunitas desa dan negara menganggap pernikahan sebagai hal penting mewujudkan tatanan masyarakat harmonis dan produktif.
Sementara, negara sangat tertarik dengan status pernikahan karena membuat warga memiliki penghasilan untuk bisa membayar pajak kepada negara. (*)
Baca juga: Cerita Masa Lalu Wisata Pesohor Dunia Menikmati Pemandangan Daerah Pegunungan Jawa Barat!