MARAKNYA kebocoran data pribadi karena adanya serangan siber membuat para warganet atau pengguna internet mengalami stres. Hal tersebut diketahui lewat survei yang diadakan Kaspersky terhadap pengguna internet di Amerika Serikat dan Kanada.
Dalam survei tersebut, 70 persen dari 2.500 warganet mengaku lebih stres akibat membaca berita tentang serangan siber dan kebocoran data pribadi.
Baca Juga:
Di sisi lain, setengah dari jumlah responden mengaku penggunaan layanan daring mereka meningkat selama masa pandemi COVID-19.
Sementara itu, sebanyak 56 persen responden mengaku internet merupakan sumber stres mereka. Selain itu, 25 persen responden mengaku waktu daring mereka meningkat drastis selama pandemi COVID-19.

Satu hal yang mengejutkan, seperti yang dikutip dari laman Zdnet, angka tersebut meningkat jauh lebih tinggi untuk milenial. Karena 64 persen milenial mengaku adanya peningkatan penggunaan internet. Sementara peningkatan bagi Baby Boomers hanya 45 persen.
Tapi, angka tingkat stres tersebut menurun dibanding laporan sebelumnya, yakni untuk periode 2018 dan 2019. Pada tahun 2018 hampir 80 persen dari responden mengaku kebocoran data membuat mereka jadi stres, lebih tinggi 7% dibanding 2021. Lalu, 60 persen responden menganggap ransomware sebagai ancaman utama.
Baca juga:
Kendati tingkat stres meningkat, banyak responden yang kian percaya diri menghadapi serangan siber. Menurut survei tersebut, 36 persen mengaku sudah siap menghadapi serangan siber, sementar 23 persen belum siap menghadapi serangan siber.

Menariknya, hanya 30% responden yang mengaku telah memakai platform perlindungan tambahan, untuk melindungi data pribadi serta perangkat mereka dari serangan seiber.
Archie Agarwal, CEO ThreatModeler menuturkan, bahwa temuan laporan tersebut menujukan, bahwa perilaku responden yang berkebalikan. Yakni mereka takut menjadi korban serangan siber, tapi tak melakukan upaya apapun untuk melindungi dirinya.
Seperti halnya 64 persen responden lebih takut rekening banknya diakses oleh peretas, dibanding kehilangan pekerjana. Tapi disi lain 44 persen responden tak melindungi ponselnya dengan kode PIN.
"Dengan banyaknya pengguna mobile banking, hal itu membingungkan. Jadi, ketakutan tidak menjadi motivasi yang baik untuk mengambil langkah, dan perusahaan seharusnya tidak menggunakan ketakutan untuk memotivasi karyawannya, agar menjaga keamanan datanya dan mencari cara lain yang lebih positif," jelas Agarwal.
Menurut Agarwal, banyaknya berita keamanan siber yang terus-menerus tidak akan melambat dalam waktu dekat, dan pembatasan desensitisasi akan terus menjadi pemicu utama dalam masyarakat kita.
Bila melihat dari penelitian, terlihat jelas sebagian besar responden menganggap diri mereka kurang dilengkapi dalam hal keamanan siber dan pengetahuan. (Ryn)
Baca juga: