TRADISI Seba Baduy sudah menjadi ritual tahunan sejak zaman nenek moyang warga Baduy. Konon tradisi ini sudah ada sejak tahun 1526 Masehi. Meskipun belum ditemukan catatan resmi mengenai asal mula tradisi Seba Baduy ini. Munculnya tradisi ini menurut para pakar adalah saat Kerajaan Demak memperluas wilayah kekuasaannya ke Banten dan mendirikan Kesultanan Banten.
Tradisi ini menjadi kesempatan bagi suku Baduy untuk bersilaturahmi dengan Gubernur Banten, yang mereka panggil Bapak Gede. Pada tradisi ini berlangsung, seluruh masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam menyerahkan hasil tani atau Bumi mereka kepada pemerintah setempat. Kemudian ini yang biasa disebut dengan 'upeti untuk kerajaan'. Ini adalah bentuk rasa syukur karena karena hasil panen yang melimpah-ruah. Tak ada paksaan bagi warga Baduy untuk menjalankan tradisi ini.
Baca Juga:

Tradisi ini dijalankan oleh warga Baduy setelah melaksanakan Puasa Kawalu. Yakni kegiatan yang dilakukan oleh orang Baduy selama tiga bulan dan musim panen tiba. Pada ritual Puasa Kawalu itu, masyarakat luar dilarang memasuki wilayah Baduy Dalam, yang meliputi Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.
Salah satu pesan yang selalu disampaikan kepada Pemerintah di Provinsi Banten agar tetap menjaga kelestarian alam di wilayah mereka. Masyarakat Baduy khawatir jika lingkungan alam di sekitar tempat tinggal mereka menjadi semakin rusak oleh ulah manusia. Karena, hal itu dapat mengancam kehidupan mereka yang mayoritasnya mengandalkan hasil Bumi.
Baca Juga:

Masyarakat Baduy atau disebut juga sebagai Urang Kanekes, selain tetap kukuh mempertahankan adat. Mereka juga sangat menjaga alam di wilayah mereka bermukim. Ini sesuai dengan pepatah, Lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung, yang artinya panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung. Itulah yang memberikan makna bahwa hidup harus sesuai ketetapan Tuhan. Kemudian menjaga yang telah diberikan oleh Tuhan.
Budayawan tatar Sunda Wawan Setiawan Husin yang beberapa waktu lalu ditemui merahputih.com mengatakan, tradisi Seba bahwa pemerintah provinsi Banten sangat menghargai tradisi ini. Wawan menggunakan istilah Sunda 'nyakola' dan 'teu paburisat', yang dapat diartikan nyakola berarti berpendidikan dan teu paburisat berarti tidak amburadul. (*)
Baca Juga:
Adat Bundo Kanduang dalam Sistem Matrilineal Budaya Minangkabau