Pada 3 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan kepada masyarakat, dua warga Depok, Jawa Barat, terinfeksi kasus COVID-19. Sejak itu, puluhan kasus baru terkonfirmasi dari hari ke hari, sampai akhirnya per 3 Maret 2021, jumlah kasus telah mencapai 1,35 juta kasus.
Perlu waktu 2 bulan, tepatnya 10 April 2020, pemerintah menarik rem darurat berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kegiatan perkantoran dihentikan, gedung sekolah ditutup, ojek online dibatasi, hingga warga dilarang berkerumun. Padahal, berbagai negara sudah melakukan penguncian wilayah sejak kasus ditemukan.
Pembatasan kegiatan warga dan usaha ini, langsung membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuatal II yang tercatat minus 5,32 persen, lalu dengan sedikit pelanggaran kebijakan dalam PSBB dan kucuran berbaga stimulus terutama bantuan sosia, pada kuartal III-2020 ekonomi Indonesia tumbuh, namun tetap minus 3,49 persen. Indonesiapun nyatakan diri masuk resesi ekonomi.
Baca Juga:
Beratnya Tantangan Perbankan di Tengah Pemulihan Ekonomi
Pandemi yang berkepanjangan ini, membuat jumlah pekerja yang terdampak mencapai 29,12 juta orang atau setara dengan 14,28 persen dari keseluruhan populasi penduduk usia kerja yang mencapai 203,97 juta orang.
Badan Pusat Statistik menyebutkan, 2,56 juta pengangguran terdampak karena COVID-19, 0,76 juta orang bukan angkatan kerja karena COVID-19, sementara tidak bekerja karena COVID-19 sebesar 1,77 juta orang, dan yang bekerja dengan mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 24, 03 juta orang.
Pada periode Agustus 2020, jumlah angka pengangguran meningkat 2,67 juta orang. Dengan demikian, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang.
Pandemi menyebabkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berhasil ditekan di angka 5,23 persen menjadi meningkat 7,07 persen. Hal ini dampak peningkatan jumlah angkatan kerja per Agustus 2020 sebesar 2,36 juta orang menjadi 138,22 juta orang dan menerunya jumlah penduduk yang bekerja akibat merosotnya ekonomi.
Imbas banyaknya masyarakat yang menganggur ini, membuat penduduk miskin mengalami peningkatan dan kembali ke double digit. Padahal, sejak 2018 lalu, angka kemiskinan menurun ke single digit.
Data BPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 27,55 juta orang pada September 2020. Jumlah tersebut meningkat 2,76 juta dibandingkan posisi September 2019 atau mencapai 10,19 persen yang mulai menanjak sejak kuartal I-2020.
Presiden Joko Widodo sedari awal, memilih strategi gas dan rem. Strategi ini untuk menyeimbangkan penamangan kesehatan dan ekonomi akibat pandemi dengan komando dari Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Komite PCPEN), yang diisi dengan dominasi bidang ekonomi. Jokowi sadar jika pentingnya kesehatan untuk bisa memulihkan perekonomian dalam negeri.
“Masalah kesehatan ini harus betul-betul tertangani dengan baik, karena memang kita ingin secepat-cepatnya restart di bidang ekonomi. Jangan sampai kita, urusan kesehatan, urusan COVID ini belum tertangani dengan baik kita sudah men-starter--restart- di bidang ekonomi. Ini juga sangat berbahaya,” ujar Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/9/2020).
Bank Dunia mewanti-wanti pemerintah Indonesia, jika pengendalian pandemi COVID-19 tidak tertangani dengan baik, karena kebijakan yang cenderung lunak akan berdampak cukup signifikan terhadap sektor informal.
Prospek pemulihan ekonomi di tahun 2021, diperkiran Bank Dunia tidak akan stabil dan tidak merata. Tahun 2021 ini, perekonomian Indonesia diperkirakan akan masuk di zona positif, dengan pertumbuhan ekonomi antara rentang 3 persen hingga 4,4 persen.
"Pemulihannya akan berbentuk K? bahkan tidak bisa membayangkannya, dan pemulihan mungkin tidak seimbang. Sektor-sektor informal, jasa, terpukul paling keras serta kemiskinan di Indonesia," ujar Chief Economist for Asia and the Pacific World Bank, Aaditya Mattoo, Selasa (29/9/2020).

Vice President Asian Development Bank (ADB) Bambang Susantono meyakini perekonomian Indonesia akan pulih seperti dialami perekonomian berbagai negara, meskipun tidak akan berlangsung cepat dalam membentuk huruf V atau V shape recovery atau peningkatan tajam setelah turun tajam.
Pandemi COVID-19 telah memukul ekonomi seluruh dunia membuat tingkat konsumsi, investasi, dan ekspor serta impor turun. Satu-satunya sektor yang masih bisa memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi adalah dukungan belanja pemerintah.
ADB berharap, pengalaman sejumlah negara yang berhasil melewati krisis Asia dan krisis global di masa lalu bisa membuat negara-negara dapat menghindari krisis sehingga perekonomian bisa kembali pulih.
Bambang mendegaskan, pandemi COVID-19 meninggalkan "luka" yang menyebabkan perekonomian tidak mudah untuk pulih dengan cepat terutama meningkatknya utang akibat pandemi COVID-19 di berbagai negara, khususnya di Asia Pasifik, yang begitu besar.
"Apa pun modelnya, kemungkinan suatu krisis yang lebih besar tetap ada," kata Bambang. (*)
Baca Juga:
Buat Padat Karya, Anggaran Pemulihan Ekonomi Bisa Bertambah Lagi