SeBAGAI salah satu upaya melestarikan bahasa di Indonesia, sastra siber hadir menjadi sebuah wadah baru untuk mengkomunikasikan karya sastra ke seluruh pembaca melalui dunia maya. Data UNESCO tahun 2009 menyatakan bahwa sekitar 2500 bahasa di dunia termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Data UNESCO ini melaporkan sebanyak 200 bahasa telah punah dan dalam tiga puluh tahun terakhir sekitar 607 bahasa dikategorikan tidak aman.
Itulah mengapa sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap bahasa dan sastra daerah. Begitu pula karya sastra, biasanya karya sastra hanya dipublikasikan melalui media cetak seperti buku atau koran. Kini, karya sastra dapat dipublikasikan lewat dunia maya atau siber, yang populer disebut sSastra Siber'.
Baca Juga:
Marga T, Kontribusi Penulis Keturunan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Kepunahan bahasa daerah disebabkan oleh tidak adanya lagi penerus dari penutur bahasa daerah tersebut, tidak adanya sistem aksara dan sikap penutur yang kurang peduli terhadap bahasa dan sastra daerahnya. Hal tersebut dijelaskan Kepala Bidang Perlindungan Bahasa, Ganjar Harimansyah.
Data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menunjukkan bahwa hingga Oktober 2017 menunjukkan bahwa dari 2542 bahasa daerah terdapat 652 bahasa daerah yang telah diidentifikasi dan divalidasi. Namun hanya 71 bahasa yang telah dipetakan vitalitasasinya dan sembilan belas bahasa terancam punah serta sebelas bahasa telah punah.
Sastra Siber hadir di era awal 2000-an sebagai wadah bagi para sastrawan maupun masyarakat umum untuk mempublikasikan karya sastranya. Sastra Siber sendiri juga memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kelebihan dari sastra siber ini salah adalah ruang yang tidak terbatas. Melalui sastra siber kamu dapat mempublikasikan karya kapanpun dan sebanyak apapun tanpa ada batasan pengiriman karya.
Baca Juga:

Namun, salah satu kekurangan yang terdapat pada sastra siber adalah mudah terjadinya plagiarisme. Penjiplakan pada karya sastra siber bukan suatu hal yang bisa diatur dan hanya bergantung pada etika orang tersebut. Sampai saat ini, belum ada regulasi yang melindungi karya sastra siber.
Perhatian masyarakat terhadap sastra masih sangat rendah. Kebanyakan orang masih menganggap sastra sebagai hal yang membosankan dan hal tersebut harus diatasi. Jika dulu, anak-anak dipaksa membaca karya sastra saat di sekolah. Namun kini dengan sastra siber, masyarakat dapat dengan mudah membuka sendiri karya sastra yang ingin mereka baca. Maka hal tersebut dinilai dapat melestarikan Bahasa dan sastra dikalangan masyarakat.(DGS)
Baca Juga: