MerahPutih.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai, pengesahan UU Ciptaker menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia.
Usman mengatakan, mereka yang menentang karena substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan. Anggota dewan dan pemerintah, nampaknya, lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini.
"Sementara hak jutaan pekerja kini terancam," jelas Usman dalam keteranganya, Senin (5/10).
Baca Juga
Buruh Akui Lebih Takut Sama RUU Cipta Kerja Dibanding Corona
Ia menambahkan, serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil seharusnya dilibatkan secara terus-menerus dalam pembahasan Undang-Undang ini, dari awal.
"Karena anggota mereka-lah yang akan menanggung langsung dampak dari berlakunya Omnibus Ciptaker," terang Usman.
Usman menjelaskan, peristiwa penting di rapat paripurna hari ini akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja, dan akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. Belum lagi, perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap.
"Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap," imbuh dia.
Usman mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker. Hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan. Pemerintah juga harus melindungi dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dari mereka yang dirugikan atas pengesahan Ciptaker ini.
"Pandemi COVID-19, lagi-lagi, tidak boleh dijadikan alasan untuk melindungi hak mereka karena bersuara adalah satu-satunya jalan untuk didengar bagi mereka yang haknya dirampas," terang dia.
Ia berharap, jangan sampai pengesahan ini menjadi awal krisis hak asasi manusia baru, di mana mereka yang menentang kebijakan baru dibungkam.
Seperti diketahui, DPR RI mengesahkan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dalam rapat paripurna. Sejak pertama kali diusulkan, Omnibus Cipta Kerja telah menuai kontroversi di kalangan serikat pekerja dan kelompok masyarakat karena memuat pasal-pasal yang mengancam hak pekerja.
Proses penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai sejumlah kelompok masyarakat kurang terbuka dan kurang transparan. Pembahasan yang dilakukan tertutup saat hari libur dan waktu pengesahan yang lebih cepat dari yang dijadwalkan memicu protes.
Selain itu, Amnesty menilai pasal-pasal berikut atau peniadaan pasal-pasal berikut berpotensi untuk melanggar hak asasi para pekerja.
Baca Juga
Masuknya Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan).
"Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum," tutup Usman. (Knu)