INDONESIA menjadi negara transit bagi pengungsi luar negeri, khususnya dari Myanmar, Afghanistan, Irak, dan lainnya. Menurut data United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) atau dikenal dengan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, sedikitnya terdapat 14.000 orang pengungsi dari luar negeri teregistrasi berada di Indonesia. Bila ditambah pengungsi belum teregistrasi maka angkanya bisa lebih banyak.
Para pengungsi tersebar di sejumlah titik seluruh Indonesia, khususnya di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) atau pada akomodasi disiapkan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Baca Juga:
Alasan Pemerintah Tampung Pengungsi Rohingnya yang Terombang-ambing di Laut
Para pengungsi meninggalkan tanah kelahirannya lumrahnya lantaran perang, persekusi pada etnis tertentu, serta konflik horizontal. Tujuan utama para pengungsi meninggalkan negara asalnya, tak lain mencari keselamatan, perlindungan, dan kehidupan layak, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Namun, tidak semua pengungsi bisa bernasib baik. Sejumlah hak dasar seperti mendapatkan pendidikan, akses kesahatan, serta pekerjaan belum bisa didapatkan para pengungsi di tempat pengungsian.
Selain itu, para pengungsi juga dilarang meniggalkan penampungan, padahal itu merupakan hak untuk mobilitas. Kondisi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), serta menimbulkan masalah kemanusiaan baru.
Demi membantu para pengungsi, menurut Koordinator Kemanusiaan Geutanyoe Foundation Nasruddin,perlu dilakukan berbagai upaya bantuan kemanusiaan.
"Di antaranya kerjasama dengan berbagai pihak untuk proses pendaratan pengungsi di lautan karena biasanya membutuhkan waktu cukup lama, kerentanan para pengungsi, serta ancaman dihadapi para pejuang kemanusiaan dalam upaya tersebut," jelas Nasruddin saat ditemui merahputih.com di kawasan Jakarta Selatan.
Geutanyoe Foundation, lanjutnya, acap mengelola dan merespon informasi tentang kapal terdampar di lautan dari asosiasi nelayan, lalu mengembangkan koordinasi dengan instansi terkait, seperti pemerintah, pihak imigrasi, Polisi, TNI, BIN, UNHCR, IOM, LSM, dan tokoh masyarakat.
Selain itu, Geutanyoe Foundation juga melakukan respon tanggap darurat di laut, termasuk mengirimkan makanan dan kebutuhan darurat lainnya, membantu proses pendaratan pengungsi, dan melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mempercepat pendaratan. Setelah porses pendaratan berhasil, selanjutnya menyediakan akomodasi sementara dan beberapa layanan di tempat penampungan sementara, seperti pemeriksaan kesehatan, dapur umum, pendidikan untuk anak-anak, sosialisasi hukum adat setempat, serta sosialisasi tentang informasi pengungsi.
Baca Juga:
Indonesia Punya Kekuatan Tekan Myanmar Perjelas Nasib Muslim Rohingya
Upaya lainnya perlu dilakukan antara lain menyediakan layanan psikososial untuk perempuan dan anak-anak, mengadakan program-program berbasis kebudayaan, pendidikan, dan kesenian di lokasi serta membantu koordinasi relokasi pengungsi.

Selain itu, Nasruddin juga menjelaskan, pihaknya mendorong upaya terebut agar negara asal pengungsi bisa menerima mereka kembali, karena hidup di negara orang tidak akan mudah.
Sebagai negara nan menjunjung tinggi HAM, menurut Periset Koordinator of Yayasan Geutanyoe Affan Ramli, pemerintah Indonesia harus melihat masalah pengungsi dalam kerangka kemanusiaan, alih-alih memakai kacamata hukum formal.
"Pertama, pengungsi sering dalam kondisi buruk dan memprihatinkan. Bagi pengungsi Rohingya, untuk berhasil keluar dengan selamat dari negara asalnya sudah menjadi sebuah pencapaian," jelas Affan.
Lebih lanjut Affan menambahkan, memperoleh dokumen keimigrasian lengkap merupakan hal tidak mungkin dipenuhi. Dengan sendirinya mereka menjadi undocumented immigrant. Kedua, para pengungsi membutuhkan akses terhadap kesehatan dan pendidikan layak, khususnya bagi perempuan dan anak-anak.
"Hal itu sangat sulit dilakukan karena keterbatasan dokumen dimiliki pengungsi. Di satu sisi, ini merupakan kebutuhan dasar wajib dipenuhi. Ketiga, sebagai manusia, para pengungsi perlu untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, serta pekerjaan merupakan perwujudan eksistensi untuk mendefinisikan siapa manusia tersebut," jelas Affan.
Affan menjelaskan kerangka hukum formal belum bisa menjawab tantangan-tantangan tersebut, sebaliknya, nilai-nilai HAM justru menjadi sebuah titik berangkat tepat untuk menyelesaikan tantangan tersebut.
Selain itu, Affan juga menuturkan, Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri merupakan upaya baik dari Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah pengungsi dari luar negeri. Namun, Peraturan Presiden tersebut belum menjawab tantangan secara komprehensif serta dibutuhkan penguatan nilai-nilai HAM dalam prinsip penerapanya.

Mengenai pengungsi luar negeri di Indonesia, Nasruddin bercerita tentang sebuah kisah pilu dua orang anak pengungsi asal Myanmar.
Nasruddin menemukan ada dua orang anak tanpa pendamping (orang tua). Dua anak tersebut dari keluarga berbeda. Nasruddin mengaku tidak bisa membayangkan siapa akan menyelimuti mereka ketika malam hari di kapal dan bagaimana proses distribusi makanan kepada mereka.
"Kami harus lari, takut kami sudah hilang, orang tua kami sudah tidak ada lagi, jadi kami harus pergi dari sana," ujar dua anak tersebut saat berusaha mengungsi dari konflik bersenjata di Myanmar sebagaimana diceritakan Nasruddin.
Dua orang anak tersebut mengaku tinggal di Aceh sangat luar biasa, dan tidak mengalami rasa ketakutan seperti di laut dengan tantangan hujan badai.
"Ketika dua anak tersebut mengungkapkan nasib mereka, rasanya perasaan saya hancur, karena membayangkan bila anak kita seperti itu, walaupun mungkin mereka punya rasa trauma dalam, tapi kekuatan mereka cukup luar biasa," jelas Nasruddin. (Ryn)
Baca Juga:
Dapat 3 Nominasi Oscar 2022, 'Flee' Kisahkan Pelarian Pengungsi Perang