MerahPutih.com - Kondisi perang Rusia dan Ukraina telah berdampak pada harga komoditas seperti minyak bumi. Preiden Joko Widodo menyebutkan, dampak ini dirasakan seluruh negara yang dibuat pusing dan mengalami hal yang sama.
"Tambah pusing kita semuanya. Semua negara tambah pusing, semuanya. Pusingnya belum reda, tambah lagi ada perang, sudah bertubi-tubi," kata Presiden Joko Widodo dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Dies Natalis ke-46 Universitas Sebelas Maret (UNS), Jumat (11/3).
Baca Juga:
Gelar Demo, Buruh Kecam Penundaan Pemilu hingga Tentang Perang Rusia-Ukraina
Jokowi mengatakan, para pemimpin dunia mengeluhkan hal yang sama. Perang telah mempersulit pengelolaan ekonomi. Paling tidak, memicu lonjakan harga minyak mencapai USD 130 per barel. Selain itu, perang telah memicu lonjakan harga pangan. Harga makanan di Rusia naik 12 persen, di Amerika Serikat 6,9 persen, dan di Turki 3 persen.
"Semua negara, harga jualnya ke masyarakat, sudah naik juga, kita di sini masih tahan-tahan. Bu Menteri (Keuangan Sri Mulyani) saya tanya, 'Bagaimana, Bu? Tahannya sampai berapa hari ini?'," ucap Jokowi.
Jokowi beberapa kali menyerukan penghentian perang dan sudah menyarankan kepada Rusia dan Ukraina untuk melakukan gencatan senjata.
Melihat kejadian ini, tegas Jokowi, masa depan global kini semakin penuh dengan ketidakpastian.
"Pandemi belum rampung, kemudian ada tambahan perang sehingga semuanya menjadi sulit diprediksi," ungkapnya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo ini mengaku bersyukur karena di situasi yang tidak mudah ini, Indonesia dapat menjalaninya dengan baik.
"Tetapi Alhamdulilah kita bisa menjalaninya, mengelola keuangan, mengendalikan COVID-19 dengan baik dibanding dengan negara-negara lain," ujarnya.
Seperti diketahui, Rusia menginvasi Ukraina pada dini hari tanggal 24 Februari 2022, memicu konflik terburuk di Eropa dalam beberapa dasawarsa. Dua pekan yang terjadi yang telah mengubah dunia seketika terutama pada naiknya harga komoditas utama dunia.
Bank Dunia mencatatkan, harga komoditas pertanian sudah naik 35 persen lebih tinggi pada Januari, dibandingkan dengan setahun lalu. Dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut karena perang Rusia dan Ukraina yang keduanya pengekspor utama gandum, jagung, barley dan minyak bunga matahari.
Selain itu, lonjakan harga-harga energi dan pangan juga dapat mendorong pembuat kebijakan untuk menerapkan lebih banyak subsidi. Padahal, sekitar 60 persen negara berkembang sudah atau hampir mengalami kesulitan utang.

Dalam seminggu perdagangan minyak dunia terus bergejolak akibat pembicaraan tentang embargo minyak Rusia, potensi penambahan pasokan dari Iran, Venezuela dan Uni Emirat Arab serta pertempuran di Ukraina.
Minyak Brent berada di jalur untuk penurunan mingguan sekitar 7,0 persen setelah mencapai tertinggi 14 tahun USD 139,13 per barel. Minyak mentah AS menuju penurunan sekitar 8,0 persen setelah menyentuh tertinggi 130,50 dolar AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan masih banyak tantangan yang berpotensi memberikan guncangan kepada upaya pemerintah menuju jalur pemulihan ekonomi dari krisis pandemi COVID-19.
"Pemulihan ekonomi bukanlah proses yang mulus dan mudah. Banyak tantangan yang bisa menimbulkan guncangan dalam jalur pemulihan," kata Sri Mulyani.
Ia menyebutkan, beberapa tantangan yang berpotensi mengguncang jalur pemulihan Indonesia meliputi adanya transisi pandemi menjadi endemi yang tidak merata di berbagai daerah di Indonesia.
Selain itu, tantangan lainnya adalah terjadinya gejolak geopolitik yang menyebabkan kenaikan harga komoditas secara ekstrem serta adanya disrupsi rantai pasok global yang menciptakan tingginya tekanan inflasi global.
"Ancaman perubahan iklim juga merupakan tantangan yang berpotensi mengguncang jalur pemulihan sehingga harus dijawab secara dini dan teliti baik dari sisi teknologi, kebijakan dan keuangan," katanya. (Knu)
Baca Juga:
Kemlu: 120 WNI di Ukraina Kembali ke Indonesia, 32 Orang Pilih Bertahan