Merawat Ingat

S Rukiah, Sastrawan Perempuan yang Dihapus Zaman

P Suryo RP Suryo R - Senin, 25 April 2022
S Rukiah, Sastrawan Perempuan yang Dihapus Zaman
Rukiah akhirnya dibebaskan pada tahun 1969 dengan syarat tidak menulis atau menerbitkan karya lagi. (Foto: British Library)

PROKLAMASI Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 bukan hanya menandai lima tahun konflik bersenjata antara nasionalis Indonesia dan kekuatan kolonial Belanda yang kembali. Tetapi juga antara faksi-faksi sayap kiri dan kanan dari kekuatan militer Indonesia yang baru lahir.

Periode ini juga mengantarkan sejumlah suara sastra baru. Salah satu penulis Indonesia pada masa itu yang terbentuk oleh tekanan dan penderitaan Revolusi, adalah S. Rukiah. Novel Kejatuhan dan Hati (1950) mungkin adalah karya paling penting dari seorang sastrawan perempuan.

Baca Juga:

Berdasarkan Foklor, Persib Lahir di Tahun 1933

sejarah
Siti Rukiah lahir di Purwakarta, 25 April 1927, dia dilatih sebagai guru selama pendudukan Jepang. (Foto: Wikipedia)

Karya awal Rukiah berlatar di kaki bukit Jawa Barat dengan latar belakang aktivitas gerilya selama Revolusi Indonesia. Tapi tulisannya melampaui ruang dan waktu dengan fokus pada dilema perempuan Indonesia modern yang cerdas dan konvensi masyarakat yang mengikatnya.

Dieksplorasi dalam puisi dan cerita pendek, dan dikembangkan sepenuhnya dalam novel Rukiah, kendala kesulitan perempuan dikontraskan dengan kebebasan yang dinikmati karakter laki-laki yang memiliki kemewahan mengejar takdir mereka sendiri.

Siti Rukiah lahir di Purwakarta, 25 April 1927. Selama pendudukan Jepang ia dilatih sebagai guru. Pada tahun 1946 ia menerbitkan puisi pertamanya. Dia juga mulai menulis untuk majalah Godam Jelata, yang salah satu pendirinya adalah calon suaminya Sidik Kertapati.

Sekitar Mei 1948, Rukiah menjadi koresponden Purwakarta dari jurnal sastra berpengaruh Pujangga Baru. Selama beberapa tahun berikutnya ia menerbitkan 22 puisi, enam cerita pendek dan novelnya Kejatuhan dan Hati. Novel itu pertama kali muncul sebagai terbitan edisi spesial Pujangga Baru (Nov-Des. 1950) sebelum diterbitkan kembali oleh Pustaka Rakyat.

Kumpulan puisi dan cerita pendek Rukiah yang pertama, Tandus diterbitkan pada tahun 1952 oleh penerbit pemerintah Balai Pustaka, dan pada tahun berikutnya memenangkan Penghargaan Kebudayaan Nasional perdana.

Tahun 1952 Rukiah menikah dengan Sidik Kertapati, dan dikaruniai enam orang anak. Pada tahun 1951 Rukiah mengedit majalah anak-anak Cendrawasih, dan selama dekade berikutnya, di bawah nama pernikahannya S. Rukiah Kertapati, ia aktif menerbitkan sastra anak-anak dan menceritakan kembali cerita rakyat Indonesia.

Pada tahun 1959, pada Kongres Nasional Lekra yang pertama, sebuah perkumpulan kebudayaan yang bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), Rukiah terpilih sebagai anggota Panitia Pusatnya, dan mewakili Lekra pada Kongres Penulis di Timur Jerman pada tahun 1961.

Baca Juga:

Dua anggota sekte Children of God di Indonesia, Dikenai Pasal Subversi

Penghapusan dan pembungkaman

sejarah
Buku-buku Rukiah dilarang dan tulisan-tulisannya dihapus dari antologi sastra Indonesia. (Foto: Sorge Magazine)


Akibat keterlibatannya dengan Lekra, Rukiah dipenjara ketika keenam anaknya yang masih kecil. Buku-bukunya dilarang dan tulisan-tulisannya dihapus dari antologi sastra Indonesia.

Dia akhirnya dibebaskan pada tahun 1969 dengan syarat tidak menulis atau menerbitkan karya lagi. Dia pun kembali ke kampung halamannya di Purwakarta, di mana dia tinggal dengan tenang.

“Selama di penjara, saya tidak diizinkan untuk melihat anak-anak saya yang tercinta. Jadi, selama saya ditahan, saya tidak tahu nasib anak-anak saya: apakah mereka hidup melarat di bawah jembatan, atau bahkan mati kelaparan?" tulis Rukiah kepada Annabel Gallop yang menulis thesis The Work of S. Rukiah di University of London, Inggris.

Gallop yang menjadi Lead Curator Southeast Asia di British Library itu memuat surat tersebut dalam artikelnya yang naik di situs perpustakaan. Dia menjelaskan, setelah tahun 1965, pada masa-masa mengerikan ketika terjadi pembantaian massal terhadap anggota PKI dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan partai tersebut, tidak ada yang diizinkan untuk mengambil atau merawat anak-anak korban. Jika ada yang berani melakukannya, mereka sendiri akan menghadapi penjara.

"Jadi kamu bisa membayangkan bagaimana saya menderita dan menderita di penjara. Pada akhirnya, kerinduan putus asa saya untuk anak-anak saya dan ketakutan saya untuk mereka memaksa saya untuk menulis surat kepada Pemerintah memohon pembebasan, dalam kondisi apa pun," Rukiah menambahkan dalam surat tersebut.

Maka terjadilah kesepakatan yang mengekangnya, “Pada 24 April 1969, saya dibebaskan dari penjara dan dipersatukan kembali dengan anak-anak saya, dengan syarat saya tidak akan pernah bisa menulis lagi. Saya jelas dianggap terlalu blak-blakan dan kritis. Kalau-kalau saya mencoba untuk menerbitkan sesuatu, semua penerbit diberitahu bahwa tulisan saya dilarang untuk diterbitkan."

"Tentu saja, pemerintah tahu bahwa ini adalah hukuman terberat bagi penulis mana pun. Tapi saya setuju untuk semuanya, karena cinta saya untuk anak-anak saya, yang masih sangat muda, dan yang tidak mungkin mengurus diri sendiri tanpa ibu atau ayah,” demikian kenang Rukiah. (aru)

Baca Juga:

PKI Dinyatakan Terlarang di Indonesia

#Merawat Ingat #Sastra
Bagikan
Ditulis Oleh

P Suryo R

Stay stoned on your love
Bagikan