SELALU seimbang, ada kehidupan maka akan ada kematian. Itulah kenyataan yang tidak pernah dipisahkan dalam kehidupan. Banyaknya suku di Indonesia maka beragam pula ritual budaya dalam menyambut kematian.
Kematian dalam adat Jawa biasa disebut kesripahan atau lelayu. Pada suku adat Jawa, mereka memiliki berbagai upacara adat untuk menghormati anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Mungkin beberapa diataranya kamu tidak asing lagi, karena ritual tersebut masih dilakukan. Apa aja sih? Merah Putih merangkumnya buat kamu, yuk simak.
Pada masyarakat Jawa biasa menggelar selamatan dari mulai hari kematian hingga bertahun-tahun lamanya. Selametan berasal dari kata slamet atau selamat. Acara yang biasa diadakan secara lesehan dan beberapa hidangan yang sengaja dibuat dengan lauk pauk lengkap untuk dimakan bersama setelah doa. Selametan lelayu yang diadakan, diantaranya:
Baca Juga:

Ngesur tanah kuburan
Ngesur tanah atau biasa dinamakan dengan surtanah adalah upacara yang dilakukan setelah jenazah dikebumikan. Ngesur berarti menggeser, sehingga upacara ini menyimbolkan arti dari bergesernya kehidupan mendiang ke alam lain.
Surtanah biasa dilakukan dengan persiapan sajian berupa nasi gurih, ingkung, urap cabai merah, kerupuk rambak, kedelai hitam, bawang merah, bunga kenanga, garam halus, dan tumpeng yang dibelah.
Selametan Telung Dina dan Mitung Dina
Upacara telung dina adalah upacara selametan yang dilakukan setelah hari ketiga mendiang meninggal dunia. Ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada arwah orang yang meninggal. Orang Jawa yakin bahwa selama tiga hari pertama arwah masih berada di dalam rumah. Barulah pada hari selanjutnya arwah mulai mencari jalan untuk meninggalkan rumah.
Selanjutnya adalah upacara mitung dina atau tujuh hari. Upacara ini hampir sama dengan sebelumnya, namun dengan disisipi ritual membuka genteng atau jendela sebelum acara dimulai. Hal ini mempunyai arti bahwa dibukanya benda-benda tersebut akan melancarkan arwah untuk meninggalkan rumah.
Baca Juga:

Peringatan Matangpuluh Dina dan Nyatus
Matangpuluh dina atau empat puluh hari memiliki arti arwah mendiang akan berjalan keluar dari sekitar rumah untuk kembali kepada Sang Pencipta. Biasanya acara selametan ini sebagai malam puncak atas dilakukannya doa tahlil yang berturut selama tujuh malam. Malam penutupan acara biasa dilakukan dengan ahli waris memberikan bancakan atau makanan seperti nasi berserta lauk pauk yang dikemas dalam besek.
Selanjutnya ada nyatus. Acara ini dimaksudkan untuk menyempurnakan hal-hal yang bersifat badan wadhag. Konon, selama di alam kubur, arwah masih sering datang ke keluarga di rumah sehingga perlu dilakukan doa untuk menyempurnakan. Ubarampe pada acara ini biasanya ada jajanan pasar seperti pisang,ketan, dan kolak.
Mendhak Sepisan, Pindho dan Nyewu
Mendak sepisan adalah upacara selamatan yang dilakukan setelah setahun kematian mendiang. Tujuannya untuk mengingatkan kembali jika keluarga telah ditinggalkan oleh mendiang selama satu tahun.
Mendhak pindho adalah selamatan yang dilaksanakan pada tahun kedua. Tujuannya untuk menyempurnakan semua kulit dan darah. Karena pada tahun kedua, jenazah sudah hancur lebur dan meninggalkan tulang belulang saja.
Terakhir, ada Nyewu. Berasal dari kata dalam Bahasa Jawa yakni sewu atau seribu, nyewu bermakna seribu hari setelah meninggalnya mendiang. Menurut kepercayaan orang Jawa, saat nyewu, arwah nggak akan kembali menengok keluarganya lagi. Selamatan ini juga menandai sebagai puncak acara tahunan yang digelar untuk mendoakan roh mendiang yang sudah meninggal.
Selama semua acara berlangsung, orang-orang Jawa muslim biasa membacakan doa tahlil. Semua ini dipimpin oleh kiai atau ulama setempat. Khusus untuk tahlilan seperti ini, nggak ada undangan sebagaimana hajatan lainnya. Siapa pun boleh datang untuk mendoakan mendiang. (dgs)
Baca Juga: