Ricuh May Day di Yogyakarta, Repetisi Pola Lama Teror Masyarakat Untuk Kepentingan Pilpres 2019
Merahputih.com - Aksi Hari Buruh atau May Day 1 Mei lalu di berbagai daerah berlangsung aman dan damai sekalipun diwarnai berbagai tuntutan atas perbaikan kehidupan buruh.
Berbeda dengan daerah lain, aksi di Jogyakarta, tepatnya di pertigaan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, May Day berlangsung ricuh.
Kericuhan terjadi antara warga dengan pendemo yang dipicu penghinaan atas Sultan HB X bahkan ancaman tertulis “Bunuh Sultan” di tembok-tembok dan baliho oleh pendemo. Aksi juga dilakukan dengan pembakaran ban dan penutupan Jalan Adisutjipto, salah satu jalan tersibuk di Yogyakarta karena merupakan akses utama ke Bandara dan ke luar kota. Tidak hanya itu, aksi juga ditingkahi dengan kebrutalan perusakan dan pembakaran pos polisi menggunakan bom molotov. Aksi berujung dengan penangkapan sekitar 69 orang pendemo.
Dalam peristiwa tersebut, Ketua Setara Institute, Hendardi menilai bahwa kebebasan berekspresi, berunjuk rasa, dan mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hak konstitusional warga yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
"Namun demikian, penikmatan hak tersebut tidak boleh melanggar hak dan kebebasan orang lain," kata Hendardi dalam keterangannya, kamis (3/5).
Selain itu, penunaian hak tersebut juga harus dilakukan secara damai, tanpa kekerasan, dan tidak dengan perusakan fasilitas-fasilitas umum. "Dalam konteks demo di pertigaan UIN Yogyakarta tersebut, kita harus memberikan kesempatan kepada kepolisian untuk melaksanakan kewenangannya dalam menegakkan hukum," jelas Hendardi.
Dalam rangka penegakan hukum, sebaiknya polisi melaksanakan kewenangannya secara profesional sesuai dengan koridor hukum dan peraturan perundang-undangan. Aparat kepolisian juga harus menjamin kerja-kerja bantuan hukum dan tidak menghalang-halangi kerja penasehat hukum untuk menjalankan profesinya dalam memberikan bantuan hukum bagi para pendemo yang ditangkap.
Sementara, provokasi-provokasi yang dilakukan oknum pendemo berupa penghinaan terhadap Sultan HB X, simbol utama kekuasaan politik dan kultural yang disegani di Jawa, khususnya di wilayah Kesultanan Yogyakarta, sama sekali tidak relevan dengan tuntutan dan isu perburuhan dalam aksi Hari Buruh Sedunia.
"Narasi 'Bunuh Sultan' yang cukup massif dalam demo kemarin nyata-nyata merupakan provokasi brutal yang sangat berlebihan,"
Narasi tersebut, sambung Hendardi, hampir pasti bukan muncul dari aspirasi mahasiswa atau buruh pendemo. Demo rusuh tersebut telah disusupi oleh pihak-pihak yang memang menginginkan kekacauan. Hal itu merupakan indikasi awal bahwa menjelang perhelatan elektoral, khususnya Pilpres 2019.
"ada pihak-pihak yang coba-coba merepetisi pola lama yaitu memancing situasi chaos dan menebar ketakutan di tengah masyarakat, untuk kepentingan politik Pilpres 2019. Dengan cara itu, kelompok yang kekuatan dan pengaruh riilnya kecil tersebut berharap, rasionalitas politik para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dapat ditekan sedemikian rupa," jelasnya.
Polda Yogyakarta berjanji akan menelusuri dalang atau aktor penggerak di balik aksi demo anarkis di simpang tiga Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. "Yang jelas kami tentu akan mendalami dibalik itu apakah ada orang yang kemudian sebagai aktor penggeraknya," kata Kapolda DIY Brigjen Ahmad Dhofiri.
Polda DIY telah menetapkan tiga oknum peserta aksi sebagai tersangka dalam kasus demo anarkis yang berujung pelemparan bom molotov ke pos polantas di kawasan pertigaan UIN Sunan Kalijaga itu. Ketiga tersangka masing-masing berinisial AR, IB, dan MC.
Penyidik akan membedakan ancaman hukuman yang digunakan untuk menjerat para pelaku langsung dan aktor penggerak yang masih akan ditelusuri dalam aksi itu.
Meski para tersangka mengaku sebagai mahasiswa, Dhofiri mengatakan masih akan menyelidiki lebih lanjut identitas asli mereka dengan menanyakan langsung ke perguruan tinggi yang diklaim.
"Saya belum cek KTA-nya ada, ngakunya seperti itu (sebagai mahasiswa) tapi kami harus cek sebetulnya mahasiswa atau bukan, nanti kami akan cek ke kampusnya," kata dia.
Selain terkait pelemparan bom molotov, menurut dia, Polda DIY juga akan menelusuri oknum yang menuliskan kalimat bernada ancaman ke Gubernur DIY yakni "Bunuh Sultan" di papan baliho yang berlokasi tidak jauh dari pos polisi yang dibakar.
"Pelaku penulis masih kami dalami karena mereka memakai penutup dan lain-lain. Kami hati-hati dan tidak serampangan menetapkan orang sebagai tersangka, harus ada bukti dan saksi," kata dia.
Direktur Reserse Umum Polda DIY Kombes Hadi Utomo mengungkapkan selain mengamankan barang bukti berupa 55 bom molotov dari aksi itu, sejumlah barang bukti lain yang diamankan adalah belasan spanduk di antaranya bertuliskan "Tolak Bandara", "Tolak NYIA", "Stop NYIA". Kemudian 'Nawacita membunuh Indonesia dari Pinggiran', 'Sultan : Nightmare', 'Tolak Upah Murah' dan 'Jogja Istimewa Tanpa SG (Sultan Ground) /PAG (Paku Alaman Ground)'.
Dalam aksi anarkis demo Hari Buruh 2018 atau May Day di simpang tiga UIN Sunan Kalijaga itu, polisi mengamankan total 69 orang aktivis. Tiga di antaranya ditetapkan sebagai tersangka kasus perusakan pos polantas, satu orang tersangka penyalahgunaan narkotika, dan selebihnya masih berstatus saksi. (*)