Rezim Orba Larang Potehi, Dalang Jawa Ambil Kendali

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Selasa, 05 September 2017
Rezim Orba Larang Potehi, Dalang Jawa Ambil Kendali
Rias wajah boneka Potehi. (Foto; Yusuf R, Wayang Potehi, Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia)

PASKA-peristiwa G 30 S, pemerintah Orde Baru di bawah kuasa Presiden Soeharto tak sebatas melarang seluruh kegiatan berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia, juga terhadap para Soekarnois, juga segala sesuatu berkaitan dengan kaum Tionghoa.

Soeharto kemudian mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, memuat pembatasan aktifitas tradisi, perayaan keagamaan, dan kegiatan budaya Tionghoa. Inpres tersebut berlaku setelah ketuk palu pada 6 Desember 1967.

Pertunjukan Potehi langsung sepi. Orang takut kena delik berujung bui. “Selama hampir 32 tahun Wayang Potehi mati suri. Terutama di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang jarang terdengar lagi Potehi. Setiap pertunjukan Potehi di kota besar harus memerlukan surat ijin petugas keamanan setingkat kota,” ungkap Dwi Woro Retno Mastuti, peneliti budaya Tionghoa-Jawa.

Dampak secara ekonomis, pada dalang terutama berdarah Tionghoa terpaksa beralih profesi. Dalang senior Thio Tiong Gie kemudian membuka usaha toko besi. Boneka Potehi mau tak mau tetap dia simpan di kotak, tanpa pernah lagi digantung di dalam pay low atau panggung untuk kemudian tampil satu per satu mengisi lakon.

“Masa prihatin selama 32 tahun membuat Wayang Potehi miskin kader untuk dalang dan pemusik,” ungkap Woro Mastuti.


Di masa pelarangan, dalang orang Jawa tampil sebagai pelestari Potehi. Mereka, dalam peraturan tergolong non Tionghoa, tetap bisa mementaskan Potehi di dalam klenteng untuk kalangan terbatas di kota-kota kecil wilayah Jawa Timur.


Tentu, menjadi dalang Potehi pada masa itu bukan menjadi profesi tetap lantaran panggilan pentas terbatas. Di hari lain, para dalang orang Jawa mencari nafkah dengan bertani, berladang, dan membuka usaha serta berjualan.

Pada 17 Januari 2000, Presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967, kemudian menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, membuka peluang luas terhadap orang Tionghoa merayakan hari besar, serta melaksanakan tradisi dan budaya Tionghoa, membuat lapang jalan Wayang Potehi pentas kembali.

Sepanjang penelusuran paska-penerbitan Kepres Nomor 6 Tahun 2000, menurut Woro Mastuti, jumlah dalang Wayang Potehi tidak lebih dari 12 orang lantaran terlalu lama hanya berkembang di ruang-ruang tersembunyi. Jumlah dalam berdarah Tionghoa pun bisa dihitung jari. Paling tidak ada dua nama, almarhum Thio Tiong Gie (Semarang) dan Tok Hok Lay alias Toni Harsono (Jombang).

Para dalang orang Jawa pelestari Potehi antara lain; Sesomo (Jombang), Sugiyo Waluyo alias Subur (Dukuh, Surabaya), Mantep Sutarto (Wanabaya, Surabaya), Purwanto (Jombang), Widodo (Blitar), Gunawan (Tulungagung), Pardi (Lamongan), Mulyanto, Slamet, dan Mujiono (Surabaya).

“Paling ironis selama masa pelarangan dirasakan masyarakat Tionghoa, terutama para generasi muda tak lagi mengenal Wayang Potehi,” pungkas Woro Mastuti. (*)

#Wayang Potehi #Sejarah Potehi #Tionghoa
Bagikan
Bagikan