MerahPutih.com - Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau RUU Pemilu membuat DPR terbelah. Isu utama yang mengemuka terkait aturan pelaksanaan pilkada serentak 2022 dan 2023.
Draf RUU Pemilu tersebut saat ini masih digodok di DPR. Sikap sembilan fraksi yang ada di DPR pun berbeda-beda. Ada yang menginginkan UU Pemilu direvisi, ada pula yang berkukuh tidak perlu diubah.
Setidaknya ada empat fraksi yang menolak revisi UU Pemilu. Adapun keempat fraksi itu yakni, Fraksi PAN, PKB, PPP, dan Fraksi PDI Perjuangan. Alasannya, membuat UU memakan waktu lama serta melalui perdebatan yang panjang.
Baca Juga:
NasDem Sebut Pilkada Bisa Berdampak Serius Jika Tetap Digelar pada 2024
Untuk itu, keempat fraksi tersebut menilai pilkada serentak idealnya tetap digelar pada 2024. Hal itu sesuai dengan desain pemerintah pusat dan daerah.
"Sebaiknya pilkada serentak tetap diadakan pada tahun 2024. Hal ini sesuai dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah," kata Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dalam keterangannya, Kamis (28/1) lalu.
Sementara Fraksi PKS, Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Nasdem menginginkan agar UU Pemilu tetap direvisi. Fraksi-fraksi ini ingin pesta demokrasi lokal digelar pada 2022 dan 2023.
Sekretaris Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pihaknya menyetujui ketentuan dalam draf RUU Pemilu. Menurut Saan, pilihan paling rasional adalah menggelar pilkada pada 2022 dan 2023.
"Kalau alasan pandemi COVID-19 kan kita bisa jawab, tahun 2020 saja ketika puncak pandemi kita bisa lakukan pilkada dengan baik, bahkan protokol kesehatan juga sampai 96 persen," kata Saan dalam diskusi daring, Sabtu (30/1).
Dia menyebut, ada hal-hal teknis kepemiluan yang dapat berdampak serius apabila pilkada tetap dilaksanakan pada 2024. Yakni tahapan pileg dan pilpres yang berimpitan secara tenggat waktu.
"Misalnya pungut hitung pileg dan pilpres di bulan April, tapi itu juga masih ada tahapan berikutnya, ada perselisihan di MK (Mahkamah Konstitusi). Di saat yang sama, tahapan pilkada sudah berlangsung, kira-kira sudah masuk tahapan calon perseorangan bahkan sudah pemutakhiran data," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR ini mengingatkan, Pilpres 2024 bisa terjadi dua putaran sehingga memakan waktu yang cukup panjang. Pasalnya, Presiden Jokowi tidak akan maju kembali yang membuat semua partai berangkat dari titik yang sama.
"Karena berangkat sama-sama dari nol. Anggaplah putaran kedua di Juli, Agustus itu sudah masuk tahapan pilkada yang justru juga buat partai cukup melelahkan. Di satu sisi belum selesai pileg dan pilpres, di satu sisi sudah masuk ke tahapan pendaftaran calon (pilkada)," ungkapnya.
Sisanya, Fraksi Partai Gerindra belum menyatakan sikap menolak atau mendukung revisi UU Pemilu.
Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pihaknya masih mengkaji mengenai hal tersebut.
"Gerindra dalam menyikapi ini menunggu hasil komunikasi dan koordinasi antarparpol di DPR," kata Dasco di gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (27/1).
Baca Juga:
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mempunyai sikap terkait UU Pemilu dan pelaksanaan pilkada serentak. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menyatakan, Presiden menginginkan pilkada serentak tetap digelar pada 2024.
"Saya pikir alasan yang logis adalah agar stabilitas politik dan keamanan tetap terjaga dengan baik sehingga agenda pembangunan dapat berjalan sesuai yang direncanakan dan untuk kesejahteraan rakyat," kata Moeldoko, Sabtu (30/1). (Pon)
Baca Juga:
Kemendagri Tegaskan Pilkada Serentak Tetap Diadakan pada 2024