Revisi UU ITE Harus Sasar Frasa Multitafsir

Alwan Ridha RamdaniAlwan Ridha Ramdani - Jumat, 11 Juni 2021
Revisi UU ITE Harus Sasar Frasa Multitafsir
Ilustrasi UU ITE. ( (Foto: https://www.theindonesianinstitute.com)

MerahPutih.com - Rencana pemerintah untuk merevisi empat pasal dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menuai apresiasi. Sebab, dengan revisi nantinya diharapkan dapat mengatasi masalah dan mencegah kriminalisasi dan multitafsir penerapan pidana.

"Termasuk ketidakjelasan dalam UU ITE," kata Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad, kepada wartawan, Jumat (11/6).

Suparji berharap, pemerintah tidak hanya fokus pada empat pasal. Karena masih banyak frasa dalam UU ITE yang cenderung multitafsir dan mengandung ketidakjelasan. Misalnya yang pertama tafsir tentang frasa 'tanpa hak'. Implementasi frasa tersebut belum ada kepastian hukum.

Baca Juga:

Rumus Kebebasan Berpendapat di Tengah Jeratan UU ITE

"Ketika 'tanpa hak' sebagai perbuatan melawan hukum, tafsir melawan hukum formil atau materiil? Ini perlu ada kejelasan," tuturnya.

Suparji menilai, perlu juga diperjelas tafsir tentang 'Membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik' yang terdapat dalam pasal 27 ayat 3). Rumusan frase tersebut masih sangat luas dan bias.

"Demikian pula dengan tafsir kata 'menimbulkan'. Harus dipertegas, pelanggaran ini sebagai delik formil atau materiil dan bagaimana konstruksi fakta tentang timbul tersebut," ulasnya.

Berkaitan dengan alat bukti elektronik, Suparji juga menganggap masih multi tafsir. Misalnya, ketentuan pasal 6 sering terjadi perbedaan penafsiran, misalnya terkait rumusan 'dapat diakses', 'ditampilkan' dan seterusnya.

"Ini menjadi penting karena berpengaruh pada teknis pembuktian ketentuan tersebut pada saat penyidikan dan persidangan," jelas Suparji.

Dia melihat, masih terdapat banyak frasa, kata dalam pasal-pasal UU ITE yang cenderung berpotensi menimbukan multitafsir dan ketidakjelasan dalam penerapannya. Seperti perlu pula memperjelas tafsir tentang “membuat dapat diaksesnya informasi eletronik dan/atau dokumen eletronik” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Rumusan norma dalam Pasal 27 ayat (3) masih terbilang amat luas dan bias.

"Itu sebab menjadi keharusan memperjelas tafsir frasa tersebut,"jelas pengajar ilmu hukum di Universitas Al Azhar ini.

Demikian pula tafsir kata “menimbulkan” yang dalam rumusan pasal semestinya dipertegas sebagai delik formil atau materil, serta bagaimana konstruksinya.

Selanjutnya berkaitan dengan alat bukti eletronik pun masih terjadi multitafsir implementasinya. Ketentuan Pasal 6 pun kerap terjadi perbedaan penafsiran. Misalnya, terkait rumusan “dapat diakses”, “ditampilkan”.

Ilustrasi pembungkaman kebebasan berpendapat. (Foto:Pixabay)
Ilustrasi pembungkaman kebebasan berpendapat. (Foto:Pixabay)

“Ini menjadi penting karena berpengaruh pada teknis pembuktian saat penyidikan dan persidangan,” ujar Suparji.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, menyatakan revisi terbatas pada UU ITE untuk menghilangkan multitafsir.

"Itu semua untuk menghilangkan multitafsir, menghilangkan pasal karet dan menghilangkan kriminalisasi," ujar Mahfud.

Pasal-pasal yang akan direvisi, yakni pasal 27, pasal 28, pasal 29, dan pasal 36 serta pasal 45C. Revisi terhadap pasal-pasal merupakan masukan dari masyarakat. Namun, perubahan itu tak otomatis mencabut secara keseluruhan UU ITE. (Knu)

Baca Juga:

DPR Tunggu Keputusan Resmi Jokowi Soal Revisi UU ITE

#UU ITE #Revisi UU ITE #Mahfud MD #KUHP
Bagikan
Bagikan