Media Sosial

Relasi Ujaran Kebencian di Twitter dengan Kekerasan Terhadap Perempuan

Ikhsan Aryo DigdoIkhsan Aryo Digdo - Rabu, 17 Maret 2021
Relasi Ujaran Kebencian di Twitter dengan Kekerasan Terhadap Perempuan
Postingan kebencian masih dapat mendorong kekerasan. (Foto: 123RF/Antonio Guillem)

SEBUAH penelitian menunjukkan tweet misoginis memiliki hubungan dengan kekerasan terhadap perempuan. Para peneliti telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba mengurai hubungan kompleks antara konten postingan media sosial dan perilaku offline.

Analisis baru yang ekstensif yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Melbourne dan University of New South Wales memberikan bukti bagi mereka yang berpendapat bahwa kebencian online merupakan perpanjangan tangan dari bahaya di dunia nyata.

Baca juga:

4 Tuntutan GERAK Perempuan dalam Aksi Hari Perempuan Internasional 2021

Menggunakan statistik kejahatan dari Biro Investigasi Federal (FBI), para peneliti menemukan bahwa peningkatan tweet misoginis (yaitu, kebencian terhadap perempuan) berkorelasi dengan insiden kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga.

Twitter memiliki 'hateful conduct policy' yang melarang promosi kekerasan terhadap orang lain berdasarkan gender dan identitas lain. Namun, bukan rahasia lagi bahwa perusahaan media sosial menganggap kebijakan semacam itu sulit untuk diterapkan.

Selain itu, tweet yang mengungkapkan kebencian terhadap anggota suatu kelompok sering tidak secara eksplisit mempromosikan atau mengancam kekerasan. Namun, postingan kebencian masih dapat mendorong kekerasan dengan memberi dorongan pada sikap yang membuat agresi lebih mungkin terjadi.

Hampir 17.000 tweet diidentifikasi sebagai konten misoginis. (Foto: 123RF/Piotr Swat)

Penelitian yang baru diterbitkan di jurnal Psychological Science menguji gagasan ini dengan memeriksa tweet misoginis yang mengungkapkan kebencian terhadap perempuan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pria dengan keyakinan misoginis lebih cenderung melakukan kekerasan terhadap perempuan. Demikian pula, di banyak belahan dunia, wilayah dengan kekerasan terhadap perempuan dipandang lebih dapat diterima memiliki tingkat kekerasan aktual yang lebih tinggi terhadap perempuan.

Seseorang sering beralih ke media sosial untuk mengekspresikan sikap ekstrem, karena jenis postingan ini cenderung mendapatkan perhatian paling banyak. Sikap misoginis cenderung marah dan agresif, jenis konten yang menarik perhatian dan menyebar dengan cepat di media sosial.

Penyebab kekerasan terhadap perempuan

Tentu saja, kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam pacaran memiliki banyak faktor penyebab, termasuk karakteristik pelaku individu dan kekuatan sosial yang mendorong atau mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Seperti diberitakan psychologytoday.com (16/3), para peneliti ini memilih untuk fokus pada tweet misoginis sebagai salah satu dari banyak faktor dalam masyarakat yang dapat berperan dalam mempromosikan jenis kekerasan ini. Penting untuk diperhatikan bahwa individu dari semua jenis kelamin dapat menjadi korban kekerasan dalam hubungan intim.

Baca juga:

Rayakan Hari Perempuan Internasional, Minimarket Jepang Beri Diskon untuk Produk Pembalut

Namun berdasarkan statistik FBI, 70% korban kekerasan pada pasangan intim adalah perempuan dan 70% pelakunya adalah laki-laki. Satu penelitian terhadap lebih dari 100.000 kunjungan ke Ruang Gawat Darurat di AS menemukan di antara kunjungan yang dikodekan sebagai hasil dari "pemukulan oleh pasangan," 93% pasiennya adalah perempuan.

Penulis studi baru ini beralasan jika sikap misoginis menyebabkan kekerasan terhadap perempuan, tingkat kekerasan yang lebih tinggi akan terjadi di daerah-daerah di mana lebih banyak konten misoginis di-tweet.

Peningkatan tweet misoginis berkorelasi dengan KDRT. (Foto: 123RF/Lukasz Stefaski)

Tingkat kekerasan terhadap perempuan ditentukan dengan menggunakan data FBI untuk pelanggaran terhadap keluarga dan anak, yang sebagian besar merupakan kasus kekerasan pasangan intim terhadap perempuan.

Dalam semua analisis, para peneliti secara statistik mengontrol beberapa variabel yang diketahui terkait dengan kekerasan pasangan intim, termasuk wilayah geografis, ketersediaan alkohol, pendidikan, dan pendapatan.

Tweet misoginis picu kekerasan

Para peneliti memperoleh tweet selama dua tahun dari lebih dari 400 wilayah yang ditentukan di AS, di 47 negara bagian yang berbeda. Hampir 17.000 tweet diidentifikasi sebagai konten misoginis. Kicauan ini termasuk bahasa yang kasar dan obyektif secara seksual terhadap perempuan dan bahasa yang mendukung dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Contoh tweet misoginis yang diidentifikasi oleh para peneliti termasuk, "Pelacur telah datang" dan, "Buatkan saya sandwich, pelacur."

Hasil analisis menunjukkan bahwa insiden KDRT berkorelasi positif dengan jumlah tweet misoginis di wilayah geografis tertentu. Kicauan misoginis meramalkan insiden kekerasan di kemudian hari. Namun, sebaliknya insiden kekerasan tidak meramalkan kicauan misoginis di kemudian hari.

Penemuan ini menunjukkan bahwa cuitan menghasut kekerasan daripada sebaliknya. Para penulis menyimpulkan bahwa tweet misoginis dapat membantu menciptakan kelompok pria yang memiliki sikap bermusuhan terhadap perempuan atau mempromosikan ikatan di antara pria yang sudah menjadi bagian dari komunitas tersebut.

Secara keseluruhan, tweet misoginis hanya menunjukkan korelasi kecil dengan insiden kekerasan dalam rumah tangga. Namun, memasukkan tweet ini dalam model statistik bersama dengan faktor-faktor lain yang memprediksi kekerasan dalam rumah tangga, menghasilkan prediksi jauh lebih akurat tentang jumlah insiden di suatu wilayah geografis. Dan, ketika sampai pada masalah yang sama pentingnya dengan kekerasan dari pasangan intim, setiap bagian dari kepingan puzzle itu penting. (aru)

Baca juga:

Suara Hati Buruh Perempuan Tentang Rumor Dihapusnya Hak Cuti Melahirkan

#Media Sosial #Perempuan #Twitter
Bagikan
Ditulis Oleh

Ikhsan Aryo Digdo

Learner.
Bagikan